Pencarian

Sabtu, 03 September 2011

Definisi Najis


 Najis adalah suatu perkara yang dianggap kotor oleh syara’ yang dapat mencegah keabsahan sholat, seperti darah, air air seni, kotoran manusia atau hewan dll. Dari definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa barang kotor yang ada disekitar kita, belum tentu dihukumi najis karena tidak semuanya mencegah keabsahan sholat, seperti tanah, lumpur, sampah dll.


Macam-macam Perkara Najis
Pada dasarnya seluruh benda yang ada dimuka bumi ini hukumnya suci, kecuali beberapa hal dibawah ini ;


1. Benda cair (secara dzatiah) yang dapat memabukkan (menghilangkan akal) sedikit atau banyak, contoh : Minuman keras. Berbeda dengan ganja, ganja tidaklah najis walaupun sudah dilebur dan dicampur dengan benda lain sehingga menjadi cair karena bentuk aslinya adalah sebuah benda padat , oleh karena itu sedikit ganja boleh dicicipi apabila tidak membahayakan badan atau akal.


2. Anjing dan babi serta semua anaknya meskipun hasil kawin silang dengan hewan lain yang suci.
3. Bangkai (Yaitu hewan yang mati tidak dengan cara disembelih atau diburu yang sesuai dengan aturan syara’, Seperti bangkai semut, nyamuk, hewan ternak dll. Seluruh bangkai hukumnya najis, kecuali tiga bangkai yang dihukumi suci oleh syara’ yaitu : [1] Manusia [2] Ikan dan binatang air lainnya, baik yang hidupnya di laut, sungai atau yang lain [3] Belalang)
4. Darah.
Semua darah adalah najis, kecuali :
a Hati dan Limpa.(Darah yang di bekukan)
Pada mulanya, keduanya adalah darah, lalu membeku. kecuali hati dan limpa dari bangkai yang najis maka hukumnya juga najis.
b Misik.
Yaitu darah kijang jantan yang berada didalam kantong kulit yang terletak dibawah pusar, lalu berubah baunya menjadi amat harum. Setelah sempurna mengalami perubahan, kantong tersebut jatuh dengan sendirinya .
c ‘Alaqah (segumpal darah) dan Mudlghah (segumpal daging).
Keduanya adalah cikal bakal manusia yang keluar dari rahim seorang wanita ketika gagal proses penyempurnaanya dalam rahim tersebut.
d Darah yang terdapat pada telur yang belum membusuk.


5. Nanah.
Yaitu darah kotor berwarna putih kekuningan yang keluar dari dalam luka. Susu dan sperma, walaupun keduanya berasal dari darah, tapi hukumnya suci, karena telah mengalami perubahan menjadi sesuatu yang yang lebih baik.


6. Muntahan.
Baik dari makanan, minuman atau lainya yang kembali keluar setelah sampai pada lambung, walaupun belum banyak berubah bentuknya. Semua muntahan hukumnya najis kecuali madu. Meskipun keluar dari mulut lebah, madu tetap suci dan halal dikonsumsi.


7. Kotoran yang keluar dari anus
Baik kotoran manusia ( tinja ) maupun hewan. Perlu diketahui, benda yang tidak mengalami perubahan sama sekali akibat proses dalam lambung, hukumnya tetap suci dzatnya, hanya saja karena terkena najis yang ada dalam perut, hukumnya menjadi mutanajjis. Oleh karena itu, benda tersebut bisa menjadi suci kembali setelah dibersihkan dari najis.


8. Air seni.
Hukumnya najis dan tidak boleh diminum, kecuali untuk pengobatan, apabila tidak ditemukan obat suci untuk menyembuhkannya.


9. Madzi (Yaitu : cairan berwarna putih yang keluar dari kemaluan ( laki-laki atau perempuan ) ketika timbul syahwat).
10. Wadzi (Yakni cairan berwarna putih, keruh, dan kental. wadhi biasanya keluar mengiringi air seni atau disaat fisik seseorang drop karena habis membawa beban berat. Cairan ini bisa keluar dari kemaluan siapa saja, baik orang dewasa maupun anak-anak)
11. Air liur yang dipastikan keluar dari dalam perut (iler; jawa)
Air liur ini biasanya berwarna kuning keruh dan berbau busuk. Bagi mereka yang selalu mengeluar-kan air tersebut, tidak wajib membasuh mulutnya, karena najis air tersebut dima'fu, sehingga ketika bangun dari tidur, boleh baginya langsung minum air.


12. Air susu hewan yang tidak halal dikonsums seperti susu harimau, Anjing, dan lain-lain
13. Bagian tubuh hewan yang terpotong/dipotong ketika masih hidup(Selain manusia, belalang, dan ikan. Artinya, seluruh organ tubuh yang terlepas dari ketiganya ketika masih hidup dihukumi suci, karena bangkainya juga suci) Seperti cakar harimau hidup yang terlepas, karena bangkainya najis. Begitu juga cakar ayam, gigi kerbau atau bagian lainnya yang terpisah, kecuali bulu atau rambut hewan yang halal dimakan.


Basah-basah (cairan) pada kemaluan wanita selain air seni, madzi dan wadzi hukumnya suci apabila keluar dari bagian kemaluannya yang wajib dibasuh (bagian yang terlihat disaat wanita jongkok) tapi apabila dipastikan bahwa cairan tersebut keluar dari bagian dalam, maka hukumnya najis, karena keluar dari tempat air seni atau perut. Kepastian tersebut tentunya dengan tanda-tanda tertentu, misalnya keluarnya terasa dari bagian dalam atau baunya seperti air seni atau kotoran.


Dari seluruh najis yang telah disebutkan, yang dapat menjadi suci kembali hanya ada dua :


1. Khomer yang telah berubah menjadi cuka
Khomer adalah perasan anggur murni yang kemudian berubah menjadi minuman yang memabukkan setelah didiamkan dalam waktu tertentu. Khomer yang telah berubah menjadi cuka hukumnya suci, dengan syarat perubahan tersebut terjadi secara alami (tanpa dicampur dengan barang lain). Apabila tercampur dengan benda suci yang lain, maka cuka tersebut dihukumi najis apabila ; 1] tidak segera diambil sebelum menjadi cuka, 2] benda tersebut segera diambil, namun masih menyisakan serpihan-serpihan yang tertinggal . Sari kurma atau tebu yang memabukan juga bisa menjadi suci dengan proses sebagaimana khomer.


2. Kulit bangkai selain Anjing dan babi.
Selain kulit Anjing dan babi dapat menjadi suci dengan cara disamak. Manyamak adalah mengilangkan segala sesuatu yang masih menempel pada kulit, baik lendir, darah, daging atau lainnya yang dapat membuat kulit membusuk dan berbau dengan menggunakan benda yang masam ( sepet-jawa), meskipun benda tersebut najis, seperti kotoran burung merpati. Kesempurnaan penyamakan dapat dibuktikan dengan merendam kulit yang telah disamak dalam air. Apabila kulit tersebut tidak tercium bau busuk atau membusuk maka penyamakan dianggap selesai. Apabila masih tercium bau busuk maka penyamakan harus diulangi kembali.

Jumat, 02 September 2011

JIHAD DALAM PERSPEKTIF ASWAJA Sebuah Upaya Implementasi Kontekstual*

Oleh : Khoirul Anwar
“Apabila orang-orang kafir berada di negaranya sendiri maka bagi umat Islam dalam setiap tahunnya wajib (fardlu kifayah) memerangi mereka . . .
Sedangkan apabila orang-orang kafir berada di atau hendak  mendekati negara umat Islam
Maka perang  baginya fardlu ‘ain”.
[Ibn Qasim al-Ghazi][1] 

“Dengan segala kekurangan dan keterbatasan, sebenarnya ingin kusampaikan pesan terutama kepada generasi muda Islam bahwa ilmu hacking dan membaca kitab kuning –yang selama ini dipahami secara antagonis-, adalah sama-sama harus dikuasai atau minimal dimengerti. Akan semakin bagus jika memahami ilmu bombing atau jurus-jurus fighting dan killing yang digunakan untuk jihad fie-sabilillah. Maka, dalam pertempuran akhir zaman yang sudah diambang pintu ini, berusahalah untuk menjadi preacher (ustadz/ da’i), hacker, bomber dan fighter atau killer! Demi Izzul Islam wal Muslimin. La Hawla wala Quwwata illa Billah. Allahummaj’alna minhum.”
[Imam Samudra][2] 

Prolog
            Pernyataan Ibn Qasim al-Ghazi, penulis kitab Fath al-Qarib, di atas merupakan salah satu contoh pandangan sarjana Islam klasik yang kini masih eksis betebaran di atas lembaran-lembaran kitab kuning, bahkan tidak sedikit umat Islam yang memahaminya sebagai syari’at yang wajib dijalankan, dosa jika ditinggalkan, neraka sebagai tempat kembalinya sebagaimana kesan yang terbaca dalam pesan yang disampaikan oleh Imam Samudra, salah satu teroris. Pesan tersebut sesungguhnya sangat memperlihatkan bahwa si empunya telah memahami jihad secara kaku dan sempit -untuk tidak mengatakan tidak paham sama sekali-. Oleh karena itu tidak keliru jika orientalis kenamaan, Edmund Bosworth, menuduh umat Islam sebagai “umat yang suka perang dan haus darah”, agama Islam adalah “agama pedang”.[3]
            Indonesia sebagai negara yang penduduknya sangat majemuk dihuni oleh beragam agama, aliran, ras dan suku agaknya sangat rawan terjadi pertikaian berdarah. Akhir-akhir ini kekhawatiran tersebut bukan sekedar khayalan, tapi benar-benar sudah menjadi fenomena nyata, menjadi kegiatan rutinan kaum fundamentalis kolot (garis keras), seperti pengeboman, penyerangan terhadap sekelompok orang yang tidak sepaham, pengrusakan tempat Ibadah dan lain-lain. Anehnya perlakuan keji tersebut oleh para pelaku dianggap sebagai jihad fi sabilillah (menjalankan perintah agama)[4] yang akan menjadi washilah dirinya masuk sorga. Sehingga tidak heran jika pendekar fundamentalis, pelaku bom Bali, Amrazi, ketika hendak dihukum mati ia bangga bahkan menjemput kematiannya dengan penuh senyuman karena ia memiliki kepercayaan yang sudah mengakar-urat bahwa dirinya akan meninggal dunia dalam keadaan syahid. Sesungguhnya kesalahan mereka berada pada kekurang tahuan –untuk tidak mengatakan tidak tahu sama sekali- terhadap ajaran Islam atau lebih spesifiknya ajaran tentang Jihad yang sebenarnya. Oleh karena itu pemahaman keagamaan yang mereka miliki sangat ganas, ekstrim dan menyesatkan.
Di sisi lain pemahaman tersebut memang perlu dimaklumi karena dalam hukum Islam klasik (Baca: Fikih) sendiri kata jihad selalu diidentikkan dengan perang melawan orang-orang kafir.[5] Para sarjana klasik sepakat bahwa orang kafir yang wajib diperangi adalah kafir harbi (kafir yang memusuhi umat Islam), sedangkan kafir dzimmiy (non muslim yang membayar pajak kepada umat Islam) dan kafir musta’min (kafir yang mengadakan perjanjian damai dengan umat Islam) tidak boleh diperangi bahkan diusik sekalipun. Terkait dengan apa status orang kafir yang berada di Indonesia, Isma’il Utsman al-Yamani al-Makki dalam bukunya, Qurrah al-‘Ain Bi Fatawa Isma’il al-Zain, mengatakan: ”Sesungguhnya orang-orang kafir yang berada di negara Indonesia dan yang lainnya seperti Pakistan, India, Syam, Irak, Mesir, Sudan, Maroko semuanya bukanlah kafir dzimmiy, mu’ahid atau musta’min, melainkan murni sebagai kafir harbi . . .”.[6] Kendati demikian, Syaikh Isma’il memberikan diagnostik pertimbangan bagi umat Islam dalam menyikapinya, apakah mereka harus ditumpas habis atau dibiarkan hidup dengan nyaman, semuanya dikembalikan pada kaidah “menolak kerusakan didahulukan dari pada menarik kemaslahatan” (Dar’ al-Mafasid ‘ala jalb al-Mashalih), namun jika umat Islam memerangi mereka maka tindakannya tetap dihitung sebagai jihad fi sabilillah dan harta benda hasil jarahan darinya juga termasuk ghanimah (harta rampasan perang).[7]
            Fatwa-fatwa seperti di atas walaupun memberi pertimbangan langkah yang terbaik bagi umat Islam dalam berhadapan dengan orang Kafir yaitu tidak boleh diperangi, tapi sejatinya sangat membahayakan dan mengancam eksistensi keutuhan Negara Kebangsaan Republik Indonesia (NKRI) yang kian hari sangat mengkhawatirkan, bertumbuh suburnya gerakan transnasional ekstrimis dan berbagai aksi pengeboman kiranya sudah cukup sebagai bukti. Karena dengan menstatuskan non Muslim di Indonesia sebagai kafir harbi berarti sama dengan mempersilahkan umat Islam (pemuja dan pengamal fikih klasik) memerangi mereka. Oleh karena itu kajian jihad dalam Islam dengan memperhatikan hasil penafsiran ayat-ayat tentang jihad yang dilakukan oleh para ‘Ulama Ahlu Sunnah wal jama’ah sembari menelisik ruang-ruang sejarah kiranya sangat mendesak untuk segera dipelajari, mengingat konflik antar agama dan perbedaan pemahaman dalam satu agama kian hari terus bertengger.

A. Pengertian Jihad
Kata jihad dalam al-Quran dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 41 kali.[8] Sebagian ada yang turun di Makkah (Makkiy) dan yang lainnya turun di Madinah (Madaniy). Diantara yang Makki ialah QS. 25:52, 16:110, 29:69, 29:6, 31:15, 29:8. Sedangkan ayat jihad Madani antara lain 9:73, 66:9, 49:15 dan lain-lain.
            Jihad berasal dari kata juhd yang berarti kemampuan (Al-Thaqah) atau jahd artinya berat (Al-Masyaqah). Namun ada yang berpendapat bahwa keduanya sinonim, bermakna tunggal yaitu kemampuan.[9] Dari akar kata jahd atau juhd ini terbentuk pula kata ijtihad dan mujahadah. Ijtihad biasanya dipahami sebagai upaya bersungguh-sungguh untuk menemukan kebenaran melalui penelusuran dalil-dalil al-Quran dan al-Sunnah. Sedangkan mujahadah berarti upaya sungguh-sungguh untuk mendapatkan ridha Allah. Jika ijtihad sebagai aktifitas otak maka mujahadah merupakan aktifitas batin atau rohani. Ijtihad populer  dilingkungan para ahli ushul al-fiqh, sementara mujahadah banyak dikenal di lingkungan mistikus islam.[10] Term jihad secara etimologi ialah upaya bersungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuan untuk selalu berada di jalan Allah. Sedangkan arti terminologisnya para fuqaha’ banyak yang mengidentikkan dengan “memerangi” orang kafir atau musuh.
Kendati demikian para fuqaha’ merumuskan bentuk jihad dengan bermacam-macam, sebagaimana disimpulkan oleh Sa’id Aqil Siradj, yaitu ada empat bentuk. Pertama, Itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah di muka bumi, seperti dengan melantunkan adzan, dzikir dan wirid. Kedua, Iqamatu Syari’atillah, yaitu menegakkan nilai-nilai agama Allah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, menegakkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran dan sebagainya. Ketiga, al-Qital fi sabilillah, berperang di jalan Allah, maksudnya jika terdapat komunitas yang memusuhi umat Islam dengan segala argumentasi yang dibenarkan agama maka diperbolehkan berperang namun harus memperhatikan rambu-rambu yang ditetapkan oleh Allah. Keempat, Daf’u dlarari al-Ma’shumin Musliman Kana Au Dzimmiyyan, artinya mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, serta memenuhi kepentingan seseorang yang harus ditanggung oleh pemerintah, entah itu muslim maupun kafir (non Muslim yang tidak memusuhi umat Islam, Kristen, Majusi, Yahudi, ataupun yang lainnya).[11] Pemaknaan jihad hanya sebagai “memerangi orang kafir” sungguh pun sangat menakutkan, apalagi kini jihad banyak dipahami oleh sebagian orang sebagai tindakan memerangi orang-orang yang tidak sepaham, atau dalam bahasa mereka orang-orang yang beraliran sesat.
            Mengartikan jihad sebagai perang fisik memang tidak seluruhnya salah, juga tidak seluruhnya benar. Dikatakan tidak seluruhnya salah karena dalam al-Quran sendiri tidak hanya satu atau dua ayat jihad diartikan sebagai perang, tapi banyak seperti dalam QS. 9:73:
ْ
“Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap tegaslah kepada mereka”.
Secara literal (apa adanya) ayat ini sebenarnya tidak menyebutkan sendiri pengertian jihad sebagai peperangan fisik (qital). Namun para ulama menafsirkannya sebagai peperangan fisik. Jalal al-Din al-Suyuthi, Al-Thabari, Ibn Katsir dan Al-Qurthubi mengartikan ayat tersebut sebagai jihad dengan menggunakan pedang terhadap orang-orang kafir dan menggunakan jalan dialog dan diplomasi terhadap orang-orang munafik.[12] Ayat lain misalnya QS. 9:41.
َ
“Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa senang maupun merasa berat dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu sekiranya kamu mengetahui”.
Secara jelas ayat ini menyuruh umat Islam untuk segera bergegas perang melawan musuh yang sudah datang dan mengancam. Fakhr al-Din al-Razi menegaskan, dalam kondisi bagaimanapun, baik dalam keadaan suka maupun duka, punya bekal atau tidak, punya senjata atau tidak, umat Islam harus berangkat melawan tantangan orang-orang kafir.[13] Ayat-ayat jihad yang berartikan perang fisik seperti ini turun setelah nabi Saw. hijrah ke Madinah (Madaniy) dan hanya sebagai upaya pertahanan diri dari serangan orang kafir yang terlebih dahulu menyerang (defensif) sebagai mana yang akan terlihat nanti dalam pembahasan berikutnya.
            Sedangkan mengartikan jihad sebagai perang fisik dikatakan tidak semuanya benar, karena dalam al-Quran sendiri banyak ayat-ayat jihad yang memiliki arti bukan perang fisik, sebagai sampel, misalnya QS. 25:52.

“maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan jihad yang besar”.
Menurut Jalaluddin al-Suyuthi, al-Thabari, al-Qurthubi dan al-Razi, jihad dalam ayat ini bermakna al-Quran.[14] Contoh lain misalnya QS. 29:69.

“orang-orang yang bersungguh-sungguh (jaahadu) di jalan Kami niscaya Kami tunjukkan jalan-jalan menuju Kami”.
Fakhr al-Din al-Razi menafsirkan ayat ini dengan “barang siapa bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah maka Allah akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju surga”.[15] Ibn Abbas dan Ibrahim Ibn Adham berpendapat, jihad dalam ayat ini berarti mengamalkan ilmu. Abu Sulaiman al-Darani mengatakan, jihad dalam ayat ini bukan berarti memerangi orang-orang kafir, melainkan menjalankan ajaran agama yang salah satunya adalah berusaha secara sungguh-sungguh untuk taat kepada Allah.[16]
            Keberagaman arti jihad yang dikandung al-Quran membuktikan bahwa arti jihad tidak hanya perang fisik (qital) melawan orang-orang kafir, melainkan sangat beragam. Jihad dalam arti qital hanya termaktub dalam ayat-ayat madani karena semasa nabi Saw. dan pengikutnya berdomisili di Makkah selama tiga belas tahun mereka hanya diperintahkan untuk bersabar dalam menghadapi kenakalan kafir Quraisy. Oleh karena itu jihad priode Makkah diartikan sebagai usaha bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah. Baru setelah umat Islam transmigrasi (hijrah) ke Madinah jihad dalam arti perang disyari’atkan, itu pun sebatas pertahanan diri (al-Difa’).
Kendati jihad disyari’atkan di Madinah, namun tidak semuanya bermakna perang melawan kafir, terdapat ayat jihad madani yang berarti memberikan bantuan harta terhadap orang-orang yang membutuhkannya, sebagaimana QS. 49:15 
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, mereka tidak ragu dan berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah.”
Dengan demikian sangat jelaslah bahwa jihad tidak hanya berbentuk memerangi orang-orang kafir semata, melainkan sangat banyak. Di samping itu Peperangan fisik dalam islam biasanya disebut dengan qital, ghazwah, harb, ma’rakah, siyar, dan yang lainnya.
Dalam hadis-hadis nabi Saw. juga banyak sekali kata jihad disebutkan dengan makna bukan perang, seperti sabda nabi Saw. “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan sesuatu yang benar di depan seorang penguasa yang zalim”. “Seorang mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya untuk selalu berada dijalan Allah”. Pada suatu hari Dewi ‘Aisyah bertanya kepada nabi, “Wahai Rasul, kalau memang jihad itu merupakan amal perbuatan yang paling utama, maka mengapa kami tidak berjihad”. Nabi menjawab, “Jihad yang paling utama adalah haji yang mabrur”. Jika jihad hanya bermakna perang bagaimana mungkin nabi Saw. menggunakan istilah jihad sebagai haji yang mabrur.

B. Perang Pada Masa Rasulullah Saw.
            Sejak pertama kali nabi Muhammad Saw. menyebarkan agama Islam di kota Makkah pertama-tama yang harus beliau hadapi adalah penolakan keras dari masyarakat sekitar bahkan dari paman-pamannya sendiri. Pelbagai jenis tuduhan seperti “gila” dan “ahli sihir” kerap diterima beliau. Para pengikut Muhammad Saw. selalu dihalang-halangi untuk beribadah di Masjidil Haram. Oleh karenanya Abu Bakar sempat mendirikan tempat shalat di sekitar rumahnya tapi itupun dihancurkan oleh kafir Quraisy.[17] Abdullah Ibn Mas’ud pernah dipukul dan dilukai Abu Jahal ketika sedang membaca al-Quran di depan Ka’bah. Umat Islam dilarang membaca ayat-ayat suci al-Quran, mereka malah menuduh al-Quran sebagai karya Muhammad Saw.[18] Ketika umat Islam sedang melaksanakan shalat tiba-tiba sekelompok kaum Musyrik datang dan secara kasar menghalangi mereka, akhirnya terjadilah perkelahian, Sa’ad Ibn Abi Waqash dari Bani Zuhrah memukul salah seorang kafir dengan menggunakan pelana unta dan melukainya. Sejarah mencatat inilah pertumpahan darah pertama dalam Islam. Umat Islam generasi pertama benar-benar mengalami kesulitan dalam menjalankan ibadah. Dalam keadaan seperti ini, nabi Muhammad Saw. tidak pernah menyerang balik, karena Allah Swt. memerintahkannya untuk bersabar terhadap perlakuan kafir Quraisy dan menjahuinya dengan cara yang baik (QS. 73:10).
Walaupun umat Islam pada saat itu bersikap demikian, tapi kekerasan terus berdatangan hingga akhirnya nabi Muhammad Saw. dan pengikutnya memutuskan pindah (hijrah) ke Yatsrib, kota yang penduduknya sangat majemuk, plural (beragam), ada Yahudi yang terdiri dari tiga etnis, Bani Quraidhah, Bani Qainuqa dan Bani Nadhir. Ada Nasrani, Paganis (penyembah berhala), Muslim pribumi (Anshar) dan Muslim migran (Muhajirin). Oleh karena itu langkah yang pertama kali dilakukan oleh nabi Muhammad Saw. adalah mengadakan persatuan dan kesatuan dibawah Piagam Madinah (Shahifah Madinah) dimana semua warga bangsa (Yahudi, Nasrani, Musyrik, Muslim) dianggap satu umat (Ummah Wahidah), semuannya memiliki hak hidup sama, tidak dibeda-bedakan.[19] Sejak itulah kota Yatsrib namanya diganti menjadi Madinah, penduduknya disebut Mutamaddin dan sistemnya dikenal dengan Tamaddun.  Persaudaraan sesama manusia (Ukhuwwah Basyariyyah) itu dikepalai oleh nabi Muhammad Saw. sendiri. Dengan demikian Muhammad Saw. memiliki jabatan ganda, sebagai pemimpin agama Islam (Nabi) dan pemimpin Negara.[20]
Sekalipun nabi Saw. dan sahabatnya sudah hijrah ke daerah lain serangan kafir Quraisy terus mengancam nyawa umat Islam. Pada saat keadaan mengerikan seperti itulah Allah baru menurunkan QS. 22:39-40 sebagai rekomendasi kepada umat Islam untuk memerangi orang-orang kafir yang mengintimidasi, memusuhi dan menyiksa mereka. Ini merupakan puncak dari kesabaran umat Islam dalam menghadapi kezaliman kafir Quraisy, sebelumnya selama bertahun-tahun Rasulullah Saw. selalu meminta umat Islam untuk bersabar, karena pada saat itu tidak ada wahyu yang memerintahkan untuk melawan kezaliman tersebut,[21] tapi setelah ayat perang turun, peperangan antara kelompok nabi Saw. dan kafir Quraisy menjadi tak terelakkan lagi. Perlu dicatat disini bahwa peperangan tersebut hanya sebagai upaya pertahanan diri (defensif), bukan dengan cara menyerang terlebih dahulu (ofensif).
Terkait dengan berapa jumlah peperangan yang dilakukan oleh nabi Muhammad Saw. sejumlah hadis menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. melakukan peperangan sebanyak tujuh belas kali. Sementara riwayat lain mengatakan sembilan belas kali. Abdullah Ibn Buraidah meriwayatkan pada masa nabi Saw. telah terjadi 19 kali peperangan, tapi nabi Muhammad Saw. hanya pernah mengikuti 8 kali.[22] Diantaranya adalah:

1. Perang Badar, terjadi pada tanggal 17 Ramadlan 2 H./ 17 Maret 623 M. Pada peperangan ini jumlah pasukan Islam hanya tiga ratus lima puluh orang, jumlah yang sangat sedikit dibanding kafir Quraisy Makkah yang berjumlah lebih dari sembilan ratus pasukan. Tapi sungguh sangat mengagumkan, pada peperangan ini umat Islam meraih kemenangan yang sangat gemilang, para pemuka Kafir Quraisy banyak yang terbunuh, diantaranya adalah Abu Jahal Ibn Hisyam, ‘Utbah Bint Rabi’ah, Zam’ah Ibn al-Aswad, Umayah Ibn Khalaf dan yang lainnya.[23] Sedangkan dari umat Islam yang terbunuh hanya empat belas orang, enam orang dari kaum Muhajirin dan delapan orang dari kaum Anshar. Riwayat lain menyebutkan korban dari umat Islam berjumlah sebelas orang, empat orang dari kalangan Muhajirin dan tujuh orang dari kalangan Anshar.[24]

2. Perang Uhud, terjadi pada pertengahan bulan Syawal 4 H./ 625 M. dua tahun setelah perang Badar. Jika pada perang Badar umat Islam mengalami kemenangan besar-besaran, pada peperangan ini sebaliknya, umat Islam mengalami kekalahan, bahkan nabi Saw. sendiri terluka lantaran lemparan batu keras dari ‘Uthbah Ibn Abi Waqash. Bibir bawah nabi Saw. sobek, giginya patah satu dan wajahnya mengucurkan darah. Tujuh puluh sahabat nabi Saw. menjadi syahid.[25] Diantara tujuh puluh korban tersebut tercatat nama Mukhairiq, orang Yahudi Bani Tsa’labah. Ibn Hisyam meriwayatkan, di pagi hari ketika Mukhairiq mendengar informasi akan terjadi peperangan akbar antara kafir Quraisy Makkah dengan umat Islam, ia memerintahkan pengikutnya agar tetap menjaga perjanjian dengan nabi Saw. sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Madinah dan membantu nabi Saw. dalam memerangi kaum Musyrik Makkah. Mukhairiq berkata kepada pengikutnya (orang Yahudi):

“Wahai kaum Yahudi, demi Allah, sesungguhnya membela nabi Muhammad Saw. adalah suatu kebenaran”.
Bahkan lebih tegas ia mengatakan:

“jika dalam peperangan nanti aku terbunuh, maka semua hartaku aku serahkan kepada Muhammad Saw. untuk keperluan apa saja terserah”.
Kemudian Mukhairiq menyiapkan pedang dan segera berangkat menuju bukit Uhud turut berjuang hingga akhirnya meninggal dunia. Terkait dengan prilaku Mukhairiq, nabi Muhammad Saw. bersabda: “Mukhairiq adalah orang Yahudi terbaik  ”.[26]

3. Perang Parit, terjadi pada bulan Syawal 5 H./ 627 M.. Atas usulan Salman al-Farisi nabi Saw. memerintahkan pasukannya untuk menggali parit di sekitar Madinah dan keadaan kota diperkuat dari dalam. Oleh karena itu ketika kafir Quraisy mengepung Madinah mereka tidak bisa masuk ke kota. Pada peperangan ini umat Islam kembali meraih kemenangan, padahal jumlah umat Islam sedikit, yaitu tiga ribu orang sementara kafir Quraisy Makkah berjumlah sepuluh ribu pasukan.[27]

C. Tujuan & Etika Perang Rasulullah Saw.
            Sungguh, sebagaimana terlihat di atas bahwa nabi Muhammad Saw. berperang bukan untuk memaksa kafir Quraisy masuk ke agama Islam, melainkan sebagai upaya mempertahankan diri dari serangan kaum Quraisy yang mengisolasi umat Islam dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya sendiri, atau singkatnya mengekang kebebasan beragama, itu pun nabi Saw. belum pernah mengawali menyerang, tapi merekanyalah yang memulai terlebih dahulu.[28]
            Selama hidup nabi Muhammad Saw. tidak pernah memaksa umat lain untuk masuk ke agama Islam, karena pemaksaan dalam beragama bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri, Allah berfirman: 
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) ke agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat.” (QS. 2:256)
Ibn Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan: “janganlah kalian memaksa seorang pun untuk masuk ke dalam agama Islam, karena agama Islam petunjuk-petunjuknya sangat jelas. Tidak perlu memaksa seorang pun untuk menganut agama Islam, masuk ke agama Islam harus mendapat petunjuk dari Allah. Barang siapa mata hatinya buta maka tidak ada faidahnya menjadi Muslim dengan terpaksa”. Memaksa seseorang untuk menganut agama Islam berarti menentang dan menyingkirkan ujian Tuhan.[29] Umat Islam pada saat itu hanya berperang melawan kafir Quraisy, bukan kafir lainnya, hal ini karena kafir Quraisy Makkahlah yang mengintimidasi umat Islam dan memasung kebebasan beragama sehingga nabi Saw. dan sahabatnya merasa kesulitan dalam menjalankan aktivitas keagamaan. Andai peperangan ditujukan kepada orang kafir secara umum, bagaimana mungkin Mukhairiq, pemuka yahudi berperang membela nabi Saw. mati-matian?.
Nabi Muhammad Saw. juga pernah perang dengan orang Yahudi Madinah, tapi sungguh pun peperangan ini bukan peperangan atas nama agama (Holy War) melainkan karena mereka melanggar kesepakatan persatuan dan kesatuan (Piagam Madinah) dan melancarkan api permusuhan terhadap umat Islam. Kelompok Yahudi Bani Mushtholiq pernah merencanakan secara sistematis untuk membunuh nabi Saw. di bawah komando al-Harits Ibn Abi Dlirar, kemudian informasi ini terdengar oleh nabi Saw., dan akhirnya terjadilah peperangan. Peperangan dengan Yahudi Bani Nadzir juga bukan karena gesekan perbedaan agama melainkan karena mereka melanggar kesepakatan damai, melancarkan permusuhan dan fitnah terhadap umat Islam, oleh karena itu terjadilah peperangan dan menjadikan Bani Nadzir terusir dari Madinah.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa semua peperangan nabi Muhammad Saw. hanyalah persoalan politik, perbedaan agama atau paham sama sekali bukan sebab yang menggelayuti nabi dalam berperang. Orang-orang Yahudi Madinah diperangi bukan karena mereka beragama Yahudi, melainkan karena mereka melakukan penghianatan politik dan memusuhi umat Islam. Ibn Hisyam meriwayatkan, bahwa nabi Saw. pernah melarang umat Islam memerangi orang Musyrik Makkah al-Bukhtari. Larangan ini lantaran al-Bukhtari tidak menyerang nabi Saw. dan pengikutnya saat di Makkah, dan jasa al-Bukhtari dalam menggagalkan gerakan isolasi dan pemboikotan terhadapnya. Memang begitulah sebenarnya perang yang terjadi di sepanjang zaman kehidupan umat Manusia. Ivan S. Bloch dalam War of The World, sebagaimana dikutip Hasnan Habib, menyatakan bahwa antara tahun 1496 SM. sampai tahun 1861 M. terdapat 227 tahun damai dan 3.130 tahun perang, semuanya disebabkan oleh berbagai kepentingan, politik dan ekonomi.[30]
Karena sekedar mempertahankan diri itulah nabi Saw. dalam berperang sangat memperhatikan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Diantaranya tidak boleh memukul wajah karena pada wajah terdapat nilai kehormatan manusia. Dalam kesempatan lain nabi Muhammad Saw. berpesan kepada para sahabatnya agar dalam berperang tidak membunuh orang-orang jompo, para pendeta, anak kecil dan kaum perempuan. Sebuah hadis menceritakan, pada suatu peperangan pernah ditemukan seorang perempuan tergeletak mati terbunuh. Terkait kejadian itu Rasulullah Saw. marah dan melarang membunuh perempuan dan anak-anak.[31] Tempat-tempat ibadah dilarang dihancurkan, pepohonan tidak boleh ditebang.
Dalam menyikapi tawanan perang nabi Saw. juga memerintahkan para sahabatnya memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya. Nabi bersabda: “peralakukanlah mereka dengan sebaik-baiknya”. Alkisah, suatu ketika Mikraz Ibn Hafz datang hendak menebus Suhail Ibn ‘Amr yang menjadi tawanan perang. Namun Umar Ibn Khattab merasa keberatan jika Suhail bebas begitu saja karena ia sering mencerca nabi Muhammad Saw.. Akhirnya Umar meminta izin kepada nabi untuk menyanksi Suhail Ibn ‘Amr dengan mencabut dua gigi serinya sehingga tidak lagi mencerca nabi, namun oleh nabi dijawab: “saya tidak akan memperlakukan mereka dengan kejam supaya Allah tidak memperlakukan saya secara demikian, sekalipun saya seorang nabi.”[32] Bahkan nabi Saw. melarang para sahabatnya berharap bertemu musuh, namun andai terpaksa bertemu, nabi Saw. memerintahkan untuk bersabar.[33]

D. Jihad Dalam Implementasi Kontekstual
            Memahami ayat-ayat jihad di atas dan fenomena sosial yang melatari turunnya agaknya sangat penting dalam rangka mengakstualisasikan ajaran Islam secara kaffah. Tak dapat disangkal, bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks, di mana teks mempunyai otoritas yang paling tinggi. Namun bagaimana pun teks tetaplah teks, teks tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada dialog dengan konteks.[34] Di samping konteks, teks juga membutuhkan manusia sebagai Artikulator sekaligus penafsir atas teks-teks yang ada, karena tanpa penafsir, teks hanyalah sekumpulan huruf yang berserakan di atas lembaran-lembaran kertas, tidak bisa bicara dan tidak bisa merubah peradaban Manusia.
            Adalah Rais Akbar NU, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, orang yang pernah mendialogkan “Teks jihad” di bumi Indonesia. Ketika serdadu sekutu yang dipelopori oleh Belanda mendarat di Surabaya untuk mengeruk kekayaan dan menindas penduduk Indonesia, pada tanggal 22 Oktober 1945 secara tegas beliau mengajak masyarakat berjihad dengan memerangi orang Belanda dan sekutunya yang ketepatan tidak beragama Islam (Kafir), beliau berfatwa “Masyarakat Surabaya, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak semuanya wajib (fardlu ‘Ain) mengikuti perang melawan penjajah dan fardlu kifayah bagi masyarakat sekitar”. Resolusi jihad ini akhirnya mampu membangkitkan semangat Arek-arek Surabaya untuk bertempur habis-habisan melawan penjajah yang terjadi pada tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya, kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan.[35] Perang yang dimaksudkan oleh Rais Akbar NU tersebut sama sekali tidak dimaksudkan membela agama an-sich, tetapi lebih membela tanah air yang berarti melindungi semua penduduk Indonesia, baik Muslim, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hucu dan yang lainnya.
            Dari keberagaman arti jihad yang dikandung al-Quran oleh KH. Hasyim Asy’ari diaktualisasikan sebagai perang melawan sekutu demi mempertahankan keutuhan NKRI. Langkah seperti ini bukan berarti beliau menyempitkan pengertian jihad, tapi lebih sebagai implementasi kontekstual (langkah yang sesuai) karena kondisi pada saat itu menuntut pemaknaan demikian.
            Jika pada masa KH. Hasyim Asy’ari jihad diaktualisasikan sebagai memberangus penjajah karena kondisi menuntut pemaknaan seperti itu, kini keadaan negara Indonesia sudah tidak dijajah oleh amukan fisik Kafir Belanda dan sekutunya lagi, penjajah yang sedang bertengger di bumi pertiwi sekarang ini adalah banyaknya angka kemiskinan, pengangguran, dan bejadnya moral sebagian pemimpin yang tanpa tedeng aling-aling ngemplang duit rakyat dengan seenaknya. Oleh karena itu jihad harus diartikan sesuai dengan tuntutan keadaan, yaitu memerangi angka kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan membekukan laku korup.
            Jihad dengan memerangi angka kemiskinan dan pengangguran berarti kita berusaha bersungguh-sungguh untuk menghidupkan taraf ekonomi masyarakat kelas bawah (grass root), dengan menyediakan tempat tinggal kepada mereka yang tuna wisma, memberikan sandang dan pangan kepada mereka yang papa, memberikan modal kepada mereka yang tak punya, membuka peluang usaha kepada mereka yang sedang mencari, dan yang lainnya. Bahkan dalam al-Quran sendiri ketika membicarakan tentang jihad runtutan lafadznya selalu mendahulukan “jihad dengan harta” (Jihad bi al-Mal) dari pada “jihad dengan jiwa” (Jihad bi al-Nafs), hal ini mengingat pada saat itu jihad dengan harta sangat dibutuhkan guna membantu orang-orang Muhajirin yang belum mendapatkan pekerjaan ketika tiba di Madinah. Sedangkan jihad memerangi tindakan korupsi adalah berusaha menyadarkan mereka yang masih aktif memakan harta rakyat dan memberi tahu kepada masyarakat secara umum bahwa laku korup adalah tindakan yang amat zalim, sebagaimana yang disabdakan oleh nabi Saw. bahwa “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan sesuatu yang benar di depan seorang penguasa yang zalim”.

Epilog
            Syahdan, dengan melihat penafsiran para Ulama Salaf al-Shalih terhadap ayat-ayat jihad sembari menguak penyebab peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. di atas sangat nampak di mata bahwa jihad sebagai ajaran islam memiliki arti yang sangat banyak, arti-arti tersebut dalam tataran praksisnya harus disesuaikan dengan tuntutan kondisi umat Islam. Jihad diimplementasikan sebagai perang melawan orang-orang kafir sungguh pun hanya merupakan salah satu makna dari ribuan makna yang dikandungnya, namun ini pun harus memenuhi persyaratan yang sangat ketat. Patut ditegaskan kembali bahwa nabi Saw. memerangi orang-orang kafir hanya sebagai upaya pertahanan diri dari serangan kafir Quraisy yang menindas dan mengekang kebebasan manusia, tak terkecuali dalam beragama. Kenyataan seperti ini jugalah yang dialami KH. Hasyim Asy’ari di masanya sehingga beliau memaknai jihad dengan berperang melawan Kafir Belanda dan sekutunya.
            Al-Quran sebagai kitab suci memuat hak-hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia, hak-hak tersebut meliputi hak untuk hidup, hak untuk memperoleh kemerdekaan, hak untuk memperoleh persamaan dan keadilan, hak untuk memperoleh penghormatan, hak untuk memperoleh ilmu pengetahuan, dan hak untuk memiliki.[36]
            Pertama, Hak untuk hidup, setiap manusia berhak untuk hidup layak, aman, damai dan bahagia di muka bumi. Hak untuk hidup ini menurut al-Quran merupakan hak yang paling utama, karena hidup itu sendiri merupakan karunia Allah. Oleh karena itu tidak seorang pun dan siapa pun yang berhak merampasnya kecuali berdasarkan kebenaran dan ketentuan dari Allah itu sendiri. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami benar-benar yang menghidupkan dan mematikan, dan Kami (pulalah) yang mewarisi.” QS. 15:23. “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahaminya.” QS. 6:151. “Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia niscaya seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya . . .” QS. 5:32. dan yang lainnya.
            Kedua, Hak untuk memperoleh kemerdekaan, hak asasi seseorang bisa tampak apabila ia memiliki kemerdekaan untuk menyatakan sikap dan kehendaknya sesuai dengan suara hati nurani, tak terkecuali dalam persoalan memilih kepercayaan dan agama sekalipun. Allah berfirman: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam . . .” QS. 2:256.
            Ketiga, Hak untuk memperoleh penghormatan, manusia adalah makhluk yang tertinggi dan termulia diantara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dalam QS. 17:70 Allah berfirman: Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” Setiap manusia pasti menghendaki adanya persamaan dalam segala penilaian, penghormatan, kedudukan, penghidupan, dan martabat yang tinggi sesuai dengan kualitas masing-masing. Oleh karena itu seseorang tidak boleh mengejek, menghina, mencela, melecehkan, menggunjing, dan mencari-cari kesalahan orang lain.
            Keempat, Hak untuk memperoleh persamaan dan keadilan, Allah berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah mereka yang paling bertakwa.” QS. 49:13. Dalam ayat ini Allah tidak hanya mengkhabarkan persamaan hak dan keadilan yang dimiliki manusia, tetapi Allah juga menyatakan bahwa semua umat manusia yang ada di muka bumi ini semuanya adalah saudara. Terbaginya manusia dalam berbagai suku, bangsa, ras, warna kulit, bahasa, agama bertujuan supaya mereka saling mengenal perbedaan dan menukar peradaban. Dengan perbedaan yang ada mereka bisa saling melengkapi, berbagi kesulitan dan kebahagiaan, dan tolong menolong untuk mencapai tujuan bersama.
            Kelima, Hak untuk memperoleh ilmu pengetahuan, setiap orang, lelaki maupun perempuan punya hak yang sama untuk menuntut ilmu pengetahuan. Allah menempatkan orang yang berilmu pengetahuan pada kedudukan yang amat tinggi, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat.” QS. 58:19.
            Keenam, Hak untuk memiliki, sungguh agama Islam telah mengakui hak-hak kepemilikan bagi setiap individu, dalam al-Quran Allah selalu menganjurkan setiap orang supaya berjuang sekuat tenaga untuk mencari rizki yang bertebaran di muka bumi, di laut, di darat, maupun di udara. Allah menyatakan bahwa diri-Nya telah menundukkan lautan untuk manusia supaya kapal-kapal berlayar sehingga manusia dapat mencari rizki-Nya (QS. 45:12). Kendati demikian, namun ia juga memiliki kewajiban , yaitu mengeluarkan sebagian hartanya demi amal sosial dan kemanusiaan. Dalam Islam harta memiliki fungsi individual dan sosial sekaligus, tanpa memandang suku, bangsa, warna kulit, keturunan, bahasa, agama, golongan maupun aliran politik. Siapapun yang membutuhkan pertolongan maka ia wajib dibantu, karena dihadapan Tuhan semua manusia adalah sama dan sederajat.
Dengan demikian jika ada sekelompok umat Islam yang mengebom, merusak tempat ibadah, ataupun mengusik umat lain apalagi orang yang tidak sepaham dengan dalih jihad maka bisa ditebak bahwa apa yang ia lakukan bukanlah menjalankan perintah agama, melainkan “pencorengan” terhadap agama Islam sendiri yang bernuansa menebar kasih sayang kepada sesama (Rahmah li al-‘Alamin).
Sekali lagi, implementasi jihad yang dibutuhkan oleh indonesia sekarang dan masa yang akan datang adalah jihad bukan dalam arti berperang, mengebom, mengamang-amangi pedang dan merusak tempat ibadah, melainkan jihad dalam arti memberikan harta dan ilmu demi membangun Indonesia yang lebih maju. Wallahu A’lam.


*Dijadikan makalah dalam seminar jam’iyyah An-Nahdliyyah M3HM.
Pon. Pes. Lirboyo Kota Kediri Jawa Timur.
Malam Jum’at 7 Januari 2011 M.

** Koordinator FKI-RADEN
(Forum Kajian Ilmiah - Refleksi Anak Muda Pesantren)
PP. Lirboyo, Kediri, Jatim


[1] Ibn Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib, dalam Catatan pinggir al-Baijuri ‘Ala Ibn Qasim al-Ghazi, (Surabaya: Maktabah al-Syaikh Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladih, tt.), Vol. II, Hal. 262.

[2] Baca Sambutan (Khutbatul Hajah) Imam Samudra dalam bukunya, Aku Melawan Teroris, (Solo: Jazeera, Cet. I, 2004).

[3]Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post Modernisme, (Jakarta: Paramadina 1996), Hal. 130.

[4] Imam Samudera, Aku Melawan Teroris, Hal. 129

[5] Periksa kajian jihad dalam kitab-kitab fikih klasik, hampir keseluruhan ketika menjelaskan tentang jihad maka pembahasannya mengenai perang melawan orang-orang kafir, lain halnya dengan pembahasan jihad dalam kitab-kitab Tasawuf, jihad dalam ilmu ini diulas sebagai perang melawan hawa nafsu.

[6] Isma’il Utsman al-Yamani al-Makki, Qurrah al-‘Ain Bi Fatawa Isma’il al-Zain, (Toko kitab al-Barokah tt.), Hal. 179.

[7] Ibid, Hal. 179

[8] Muhammad Fuad Abd al-Baqi’, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Quran, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.), Hal. 332-333. Bandingkan dengan Sa’id Aqil Siraj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), Hal. 135

[9] Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, (Kairo: Dar al-Hadis, 2003), Vol. II, Hal. 240-241.

[10] Sa’id Aqil Siraj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, Hal. 135

[11] Sa’id Aqil Siraj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, Hal. 136. Lihat juga Abi Bakar Syattha al-Dimyathi al-Bakri, Hasyiah I’anah al-Thalibin, (Beirut-Libaon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Cet. VII, 2009), Vol. IV, Hal. 295-298.

[12] Jalal al-Din al-Suyuthi & Jalal al-Din al-Mahalli, Tafsir al-Jalalain, (Kairo: Dar al-Hadits, 2003), Hal. 252. Al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999), Vol. VI, Hal. 420. Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adzim, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Vol. II, Hal. 416. Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Quran, (Kairo: Dar al-Hadits, 2002), Vol. IV, Hal. 530.

[13] Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Vol. XVI, Hal. 72.

[14] Lihat Jalal al-Din al-Suyuthi & Jalal al-Din al-Mahalli, Hal. 476. Al-Thabari, Vol. IX, Hal. 398. Al-Qurthubi, Vol. VII, Hal. 55. Fakhr al-Din al-Razi, Vol. XII, Hal. 101.

[15] Fakhr al-Din al-Razi, Vol. XIII, Hal. 95.

[16] Lihat selengkapnya dalam Al-Qurthubi, Vol. VII, Hal. 323.

[17] Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah al-Labidz, (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.) Vol. I, Hal. 31,

[18] Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, (Beirut-Libanon: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1997), Vol. I, Hal. 184.

[19] Lihat Sa’id Aqil Siraj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, Hal. 210.

[20] Jabatan ganda Muhammad Saw. ini direspon positif oleh Madzhab Hanafiah. Dalam mengkaji perkataan, perbuatan dan pengakuan Muhammad Saw. (Baca: Hadis) mereka memilah dan memilih apakah hadis tersebut dikeluarkan oleh Muhammad Saw. dalam kapasitasnya sebagai Pemimpin agama, Pemimpin negara atau manusia biasa. Jika disampaikan dalam kapasitasnya sebagai pemimpin negara atau manusia biasa maka tidak dijadikan sebagai kaki pijak hokum (Dalil). Baca Jamal al-Din Abi Muhammad ‘Abdi al-Rahim bin al-Hasan al-Isnawi, al-Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), Hal. 509-510. Kajian mendalam tentang hal ini baca Abd al-Jalil ‘Isa, Ijtihad al-Rasul, diindonesiakan oleh Saifuddin Zuhri Qudsy & Khusnul Khotimah, (Yogyakarta: Cahaya hikmah, 2004). 

[21] Al-Qurthubi, al-Jami’ li ahkam al-Quran, (Kairo: Dar al-Hadis, 2002), Vol. VI, Hal. 383. Muhammad Ibn Abdullah Ibn al-‘Arabi, Ahkam al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Vol. III, Hal. 1297.

[22] Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Kairo: Dar al-Hadis, 1992), Vol. II, Hal. 278.

[23] Ibid, Vol. III, Hal. 338.

[24] Baca selengkapnya pada Muhammad Nawawi al-Jawi, Vol. I, Hal. 41.

[25] Ibn Katsir, Vol. IV, Hal. 53-54.

[26] Lihat Ibn Hisyam, Vol. I, Hal. 382.

[27] Ibn Katsir, Vol. IV, Hal. 104.

[28] Abd al-Wahab Khalaf, al-Siyasah al-Syar’iyyah, (Kairo: Dar al-Anshar, 1997), Hal. 62-84.

[29] Baca Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil, (Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2003), Vol. II, Hal. 193-194.

[30] Hasnan Habib, Perang Militerisme dan Kompleks Militer Industri, dalam Perang Militerisme dan Tantangan Perdamaian, (Jakarta: PT. Grasindo, 1994), Hal. 3.

[31] Abi al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Dar Ibn Haitam, 2001), Hal. 453

[32] Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Vol. III, h. 345. Ibn Hisyam, al-Shirah al-Nabawiyah, Vol. I, h. 487.

[33] Abi al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Dar Ibn Haitam, 2001), Hal. 453

[34] Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Quran, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1996), Hal. 5.

[35] Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amaliyah, Uswah, (Surabaya: Khalista, 2007), Hal. 93-95.

[36] Baca Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Quran, (Jakarta: Penerbit Penamadani, Cet. I, 2003), Hal. 128-145.

ISRA’ MI’RAJ DALAM RENUNGAN SUFISTIK

Oleh: Khoirul Anwar

“Tidak ada seorang pun yang mengatakan Dialah yang Esa kecuali Ahmad Saw.,
hanya padanya Dia tampak dalam penglihatan batin saat Mi’raj.”
[al-Hallaj]


Isra’ Mi’raj merupakan salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah hidup nabi Muhammad Saw., di mana beliau diperjalankan dari Masjid al-Haram di Makkah menuju Masjid al-Aqsa di Jerusalem, lalu dilanjutkan dengan perjalanan vertikal menuju Sidrat al Muntaha hingga bertatap muka dengan Allah. Peristiwa ini dikemudian hari hingga kini terus diperingati oleh umat Islam tiap bulan Rajab.
Para sejarawan muslim klasik berbeda pendapat terkait kapan sebenarnya peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi. Ibn Sa’d dan al-Waqidiy berpendapat, peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 17 Ramadlan. Ibn al-Munir dan al-Harbi mengatakan, terjadi pada malam 27 Rabiul Akhir. Sementara al-Nawawi memilki tiga pendapat, dalam Syarh Muslim ia mengatakan terjadi pada bulan Rabiul Akhir, dalam Fatawanya ia berpendapat pada bulan Rabiul Awal, sedangkan dalam kitabnya yang bertitel Raudlah al-Thalibin ia berpegang pada pendapat yang menyatakan terjadi pada bulan Rajab. Terlepas dari kesimpang siuran pendapat tersebut yang jelas umat Islam merayakannya tiap bulan Rajab. Hal ini mungkin yang lebih mendekati kebanaran, sebagaimana yang didakwakan oleh Jalaluddin al-Suyuthi bahwa pendapat yang masyhur adalah pada bulan Rajab.
Begitu juga terkait tempat di mana nabi Saw. diperjalankan, dalam keadaan terjaga ataukah tidur, hanya sekali ataukah berulang kali dan lain sebagainya, para sejarawan tidak lepas dari perbedaan pendapat. Karena sempitnya ruang pena dan sedikit manfaatnya, tulisan ini tidak akan mengkaji Isra’ Mi’raj dalam dimensi kesejarahannya, tapi lebih mengkonsentrasikan pada bagaimana peristiwa tersebut dihayati oleh para Sufi, mengingat –dalam pandangan penulis- hanya di tangan Sufilah Isra’ Mi’raj menemukan transformasi ajarannya.


Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Sebagai Kaki Pijak Tujuan Tasawuf

Kendati riwayat tentang Isra’ Mi’raj sangat beragam, namun semuanya bisa disimpulkan bahwa pada intinya nabi Muhammad Saw. pernah diperjalankan oleh Allah dengan perjalanan horizontal (Isra’) dan vertikal (Mi’raj). Dalam perjalanan vertikal inilah Muhammad Saw. menaiki langit (sama’) demi langit hingga sampai ke langit tujuh. Di langit tujuh beliau bertatap muka dan berdiskusi dengan Allah yang akhirnya menghasilkan kewajiban bagi diri dan umatnya shalat lima kali dalam sehari semalam.

Dalam dunia tasawuf peristiwa tersebut tidak hanya dijadikan sebagai momen bersejarah yang hampa makna, tapi dijadikan sebagai simbol inspirasi perjalanan mistikus di mana manusia bisa bertemu dan bercakap-cakap dengan Tuhannya. Oleh karena itu penyaksian alam malakut atau tersingkapnya tabir ke-Tuhanan (musyahadah) dalam dunia tasawuf menjadi tujuan akhir pencarian kejernihan jiwa bagi para sufi. Dalam kisah Isra’ Mi’raj nabi Muhammad Saw. diungkapkan bahwa beliau bisa bertemu dengan Tuhannya dengan melewati tujuh langit, ini artinya bahwa umatnya juga bisa bermusyahadah dengan Allah tapi harus melalui beberapa maqam (terminal-terminal), atau derajat yang harus dilalui untuk menjadi ‘Arif billah. Maqam tersebut sangat banyak sekali jumlahnya sebagaimana arti bilangan tujuh yang berarti menunjukkan jumlah tak terhitung. Sebagai sample QS. 2: 261 dan QS. 31: 27, dalam kedua ayat ini kata tujuh tidak diartikan sebagai hitungan eksak dalam arti bilangan tujuh, tapi jumlah yang sangat banyak. Kendati demikian, maqamat dalam standar sunni jumlahnya ada tujuh, sebagaimana arti literal kata sab’ al-Samawat (tujuh langit). Tujuh terminal tersebut ialah:

1. Taubat, Menurut Dzu al-Nun al-Mishri, taubat terbagi menjadi dua, taubatnya orang awam yaitu taubat dari dosa-dosa dan taubatnya orang khawas, taubat dari lalai kepada Tuhan (ghaflah).
2. Wara’, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas halal dan haramnya. Dalam hal ini seseorang harus selalu mengupayakan dirinya untuk makan sesuatu yang halal.
3. Zuhud, artinya seseorang tidak tamak atau mengharapkan pemberian dari orang lain dan tidak mengutamakan kesenangan dunia.
4. Fakir, seseorang di dalam hatinya tidak boleh merasa memiliki sesuatu dan sangat membutuhkan Allah.
5. Sabar, dalam menghadapi bencana seseorang harus menyikapinya dengan etika yang baik (husn al-Adab).
6. Tawakkal, hanya berpegang teguh pada Allah sebagai Tuhan yang maha memelihara (Rabb al-‘Alamin).
7. Ridla, hati selalu menerima ketentuan Tuhan (Taqdir) baik manis maupun pahit. Sebagaimana dikatakan Al-Nuri bahwa ridla adalah kegembiraan hati menghadapi “pahitnya ketentuan Tuhan”. Ibn Khafif menambahkan, ridla juga berarti menyetujui terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya dan yakin bahwa itulah yang terbaik dan diridlai oleh-Nya.

Secara urut ketujuh maqam ini harus dilalui secara tertib, karena dalam tiap perpindahan dari satu maqam ke maqam yang lain sufi akan mengalami perubahan psikis-emosional atau yang biasa disebut dengan hal. Dalam maqam terakhir sufi akan mengalami gejolak spiritual yang mengagumkan dan itu merupakan derajat tertinggi, yaitu mi’raj (naik ke atas) atau biasa disebut dengan ektase, mabuk kepayang hingga klimaknya “face to face” dengan Tuhan bahkan menyatu dengan-Nya, atau dalam bahasa Abu Yazid al-Busthami “Allah adalah Aku” dan “Aku adalah Allah”. Dalam salah satu perkataanya Abu Yazid al-Busthami menyatakan:

“Suatu ketika Dia mengangkatku ke atas, menempatkanku dihadapan-Nya.
Dia berkata kepadaku, Wahai Abu Yazid, makhluk-Ku akan senang mencarimu.
Aku berkata pada-Nya, Hiasilah aku dengan wahdaniyyah-Mu, pakaianku dengan ananiyyah-Mu, dan angkatlah aku ke ahadiyah-Mu, hingga ketika makhluk-Mu melihatku,
mereka berkata, Kami telah melihat-Mu dan Engkau akan menjadi hal itu dan aku tidak akan ada di situ.”

Pengalaman mistis tersebut merupakan pengalaman keagamaan yang sejati. Al-Ghazali, dalam menggambarkan hakikat mengatakan, ketika seseorang naik kepuncak hakikat maka tiada wujud yang nampak selain wujud al-Wahid al-Haq (hanya eksistensi Tuhan yang Esa), seseorang selalu ingat Allah sekalipun kepada dirinya sendiri, tidak ada yang lain kecuali Allah, mereka mabuk kepayang hingga mengalahkan fungsi akalnya. Klimaknya terucaplah kata Ana al-Haq (Aku adalah yang maha benar), Subhani (Maha suci Aku), Ma A’dzam Sya’ni (Alangkah besarnya Aku) Ma fi al-Jubah illallah (di dalam jubahku hanya ada Allah).
Dalam kitabnya yang lain, Ihya ‘Ulum al-Din, ketika membahas tingkatan tauhid ia mengatakan, tauhid tertinggi (urutan ke empat) adalah seseorang tidak melihat dalam wujud kecuali al-Wahid (Tuhan yang Esa). Seseorang tidak melihat dirinya sendiri karena tenggelam ke dalam tauhid-Nya, ia lenyap dari pada melihat dirinya sendiri dan makhluk lain, atau dalam bahasa tasawuf dikenal dengan al-Fana.
Dengan demikian, bagi kaum Sufi pengalaman nabi Muhammad Saw. dalam Isra Mi'raj dijadikan sebagai contoh pengalaman ruhani tertinggi, pengalaman yang sangat menggembirakan dan hanya bisa dirasakan oleh sang empunya. Dalam salah satu sabdanya nabi Muhammad Saw. menggambarkan sebagai "Sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak terbetik dalam hati manusia.” Bagaikan rasa manis madu, seseorang tidak akan pernah bisa merasakannya tanpa mencicipi sendiri. Sebab dalam musyahadah itu, segala rahasia kebenaran tersingkap (Kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna (fana’) dalam Kebenaran. Menurut al-Busthami pengalaman yang sangat membahagiakan ini bersifat selamannya, bahkan lebih abadi ketimbang kenikmatan sorga, karena menurut beliau kenikmatan sorga memiliki durasi waktu. Oleh karena itu, walaupun pengalaman tersebut hanya terjadi satu kali dan sesaat sebagaimana Isra’ Mi’raj Muhammad Saw. yang hanya semalam tapi relevansinya bagi pembentukkan moral akan bersifat selamanya karena si empunya telah berhasil menangkap kebenaran.
Memang tidak sedikit orang yang menganggap kesatuan Tuhan dan manusia (jawa: Manunggale Kawula Gusti) sebagai ajaran sesat. Pandangan demikian pada dasarnya terpengaruh oleh kaum literalis (Ahl al-Dzahir) yang mengutuk mati-matian terhadap para promotornya, atau mungkin gara-gara promotornya mati ditiang gantung (dihukum mati), sebagaimana yang menimpa al-Hallaj, Syuhrawardi al-Maqtul, Siti Jenar dan yang lainnya.
Syahdan, apa yang dituduhkan oleh kalangan literalis sama sekali tidak berdasar dan irasional, karena pengalaman mistis kaum sufi bersifat pribadi dan tidak dapat dikomunikasikan kepada orang lain. Sebagaimana penjelasan di atas bahwa hanya pelakunyalah yang bisa merasakan, dengan demikian sangat tidak patut jika seseorang menghakimi pengalaman ruhani sufi yang tidak terlihat. Sementara pernyataan vonis hukuman mati berdasarkan “tuntutan agama”, sungguhpun hal tersebut tak lebih dari pembiasan dan pembiusan sejarah. Sejarah membuktikan bahwa jatuhnya vonis lucu itu murni sebagai kepentingan politik. Sebagai sample, al-Hallaj diadili dan dihukum mati karena ia memiliki pengikut yang begitu banyak, di mana pun ia berada maka di situlah manusia berkerumunan, ke mana pun al-Hallaj pergi maka mereka mengikuti langkahnya, sementara pada saat itu pemerintah hendak mendirikan Negara, sehingga bani ‘Abbas yang saat itu memegang tampuk kepemimpinan merasa gundah, khawatir tidak mendapat dukungan. Akhirnya sebagaimana lazimnya politik kotor, al-Hallaj dicekal, pemerintah mewajibkan kepada rakyatnya agar selalu waspada terhadap al-Hallaj, tapi karena masyarakat sudah benar-benar mendarah daging dengannya, himbauan pemerintah sama sekali tidak dihiraukan. Sebagai alternatif andalan, penguasa yang bertindak sewenang-wenang itu mengajukan saksi-saksi palsu dengan menjanjikan kedudukan yang tinggi dan materi yang berlimpah ruah kepada para penegak hukum guna memfitnah dan menghakimi al-Hallaj. akhirnya kepala “kekasih Allah (wali Allah)” harus jatuh menggelundung terpenggal pedang. Begitu juga yang terjadi pada sufi martir lainnya, semuannya hanya berdasarkan tuntutan politik kotor penguasa yang menjadi budak nafsu (‘Abd al-Hawa). Begitulah pelecehan intlektual yang sering terjadi di sepanjang sejarah. Semoga sekarang dan di masa yang akan datang penindasan intlektual tidak lagi terjadi.


Urgensitas Renungan Isra’ Mi’raj Sufistik Bagi Manusia Kekinian

Berbagai tindakan amoral yang bergelimang di kanan kiri kita, mulai dari penindasan masyarakat miskin, kebejadan sebagian pemerintah yang dengan seenaknya ngemplang duit rakyat, hingga penyakit-penyakit sosial lain seperti yang baru-baru ini “tontonan nge-Seks”, kiranya sudah cukup menjadi bukti betapa absurdnya pakerti manusia moderen. Sementara di sisi lain “bayangan fatamorgana kesalehan umat Islam” bertumbuh subur. Banyak orang yang mengenakan jubah, berjenggot, berudeng-udeng ala Rasulillah Saw. mondar mandir bawa tasbih, tapi hati mereka tak sesaleh pakaiannya. Mungkin orang-orang seperti inilah yang pernah disaksikan oleh Syaikh Abu Bashir pada abad ke-2 Hijriyah. Al-Kisah, suatu ketika pada musim haji Abu Bashir berada di Masjid al-Haram, ia terpesona menyaksikan ribuan orang bergerak thawaf mengelilingi Ka’bah, seraya mendengarkan gemuruh tahlil, tasbih, dan takbir dari mulut mereka. Saat pertama kali melihat, Abu Bashir membayangkan, betapa beruntungnya orang-orang itu, mereka telah mendapat panggilan Tuhan, tentunya mereka semua akan mendapat pahala dan ampunan-Nya. Imam Ja’far al-Shadiq, tokoh spiritual yang terkenal dan salah satu ulama besar dari keluarga Rasulullah Saw. begitu menyaksikan kekaguman Abu Bashir, ia langsung berkata, “Inginkah aku tunjukkan kepadamu siapa sebenarnya mereka?”, lalu Imam Ja’far menyuruh Abu Bashir menutup matanya. Kemudian Imam Ja’far mengusap wajahnya. Ketika membuka lagi matanya, Abu Bashir terkejut. Di sekitar Ka’bah, ia melihat banyak sekali binatang dalam berbagai jenisnya, ada yang mendengus, melolong, dan menggaung. Imam Ja’far berkata, “Betapa banyaknya lolongan dan gaungan dan betapa sedikitnya orang yang benar-benar berhaji.” Bagian luar mereka saleh, tapi hatinya busuk menjijikan. Bukankah Imam al-Ghazali sendiri ketika shalat, hanya gara-gara memikirkan persoalan menstruasi, dimata adiknya, Ahmad al-Ghazali, terlihat berlumuran darah. Entah kita tidak bisa membayangkan, anatomi wakil rakyat yang korupsi dan orang yang jual-beli agama demi mempertahankan status quo dimata para ‘Arif billah.
Di tengah-tengah “realitas kusut” ini telah tiba hari besar umat Islam, hari di mana nabi di Isra’ Mi’rajkan oleh Sang pemilik jagat raya, ini tentunya momen terbaik bagi umat Islam untuk membersihkan dimensi spiritualnya yang selama ini terendap oleh lumpur-lumpur kejahiliahan.

Merayakan Isra’ Mi’raj dengan cara memaksa diri untuk menggapai satu maqam ke maqam yang lain, menggapai maqam taubat untuk sampai ke wara’, dari wara’ ke zuhud, zuhud ke fakir, dilanjutkan maqam sabar, tawakkal dan ridla hingga tergapailah jalinan intim dengan Tuhan sebagaimana yang telah disusun secara apik oleh para sufi, tentu merupakan keharusan untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Perlu ditegaskan di sini, bahwa berusaha berada di satu maqam ke maqam lain yang berarti “nyufi” (menjalankan ajaran tasawuf) bukan berarti bertolak dengan profesi, tapi malah memberikan motivasi kepada pelakunya untuk selalu dinamis. Di sepanjang sejarah bisa dibuktikan misalnya Umar Ibn Abdul Aziz, beliau pelaku ajaran tasawuf berprofesi sebagai pemimpin Negara yang sangat sukses. Junaid al-Baghdadi, ahli tasawuf, beliau menjadi pengusaha botol. Abu Sa’id al-Kharraz, sufi, berprofesi sebagai pengusaha konveksi. Al-Hallaj, sufi, syaikh al-Akbar, juga sukses sebagai pengusaha tenun. Hal ini membuktikan bahwa tasawuf sama sekali bukan sebagai faktor yang menjadikan umat Islam tertinggal, kolot dan terbelakang tapi malah sebaliknya. Karena ber-Isra’ Mi’raj dengan menjalankan ajaran taubat seseorang akan menyadari bahwa selama ini dirinya telah berbuat angkara murka terhadap sesama, menindas masyarakat pinggiran dan lain-lain. Dengan menanamkan sifat wara’, zuhud, fakir, sabar dan yang lainnya seseorang akan tercegah dari tindakan mencuri, merampok, korupsi dan terhindar dari budaya hedonisme dan konsumerisme yang kian hari terus menggerus masyarakat.
Dengan demikian Isra’ Mi’raj tidak hanya dimonopoli oleh nabi Muhammad Saw., Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, tapi manusia moderen juga bisa ber-Isra’ Mi’raj, naik ke langit untuk bertemu dengan Tuhan, kendati kemungkinan sampai pada “muka Allah” sangat tipis terjadinya. Tapi paling tidak seseorang bisa terbang ke atas (Baca: meninggalkan dan menjahui) tindakan amoral yang bergelimang di bumi kehidupan. Akhir Qauli “Selamat ber-Isra’ Mi’raj, semoga berhasil sampai tujuan ”.

Referensi :
Louis Massignon, Ana al-Haqq Reconsidered, diindonesiakan oleh Wahyudi, (Surabaya: Risalah Gusti, Cet. II, 2001), Hal. 62 dan 139.
Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Ayah al-Kubra fi Syarh Qishah al-Isra’, (CD. Maktabah Syamilah).
Abi al-Qasim Abd al-Karim bin Hawazin al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Risalah al-Qusyairiyyah, (Dar al-Khair, tt.), Hal. 89-350.
Abu Yazid al-Busthami, al-Majmu’ah al-Shufiyyah al-Kamilah, (Damaskus-Syiria: al-Mada, Cet. I, 2004), Hal. 49
Abu Hamid al-Ghazali, Misykah al-Anwar, (Beirut: Dar al-Fikr al-Libnani, Cet. I, 1994), Hal. 59
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, (Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Cet. III, 2004), Vol. IV, Hal. 215.
Abd al-Halim Mahmud, al-Tasawuf fi al-Islam, diindonesiakan oleh Abdullah Zaki al-Kaaf, (Bandung: CV. Pustaka setia, Cet. I, 2002), Hal. 199-201.