Oleh : Khoirul Anwar
“Apabila
orang-orang kafir berada di negaranya sendiri maka bagi umat Islam
dalam setiap tahunnya wajib (fardlu kifayah) memerangi mereka . . .
Sedangkan apabila orang-orang kafir berada di atau hendak mendekati negara umat Islam
Maka perang baginya fardlu ‘ain”.
[Ibn Qasim al-Ghazi][1]
“Dengan
segala kekurangan dan keterbatasan, sebenarnya ingin kusampaikan pesan
terutama kepada generasi muda Islam bahwa ilmu hacking dan membaca kitab
kuning –yang selama ini dipahami secara antagonis-, adalah sama-sama
harus dikuasai atau minimal dimengerti. Akan semakin bagus jika memahami
ilmu bombing atau jurus-jurus fighting dan killing yang digunakan untuk
jihad fie-sabilillah. Maka, dalam pertempuran akhir zaman yang sudah
diambang pintu ini, berusahalah untuk menjadi preacher (ustadz/ da’i),
hacker, bomber dan fighter atau killer! Demi Izzul Islam wal Muslimin.
La Hawla wala Quwwata illa Billah. Allahummaj’alna minhum.”
[Imam Samudra][2]
Prolog
Pernyataan Ibn Qasim al-Ghazi, penulis kitab Fath al-Qarib,
di atas merupakan salah satu contoh pandangan sarjana Islam klasik yang
kini masih eksis betebaran di atas lembaran-lembaran kitab kuning,
bahkan tidak sedikit umat Islam yang memahaminya sebagai syari’at yang
wajib dijalankan, dosa jika ditinggalkan, neraka sebagai tempat
kembalinya sebagaimana kesan yang terbaca dalam pesan yang disampaikan
oleh Imam Samudra, salah satu teroris. Pesan tersebut sesungguhnya
sangat memperlihatkan bahwa si empunya telah memahami jihad secara kaku
dan sempit -untuk tidak mengatakan tidak paham sama sekali-. Oleh karena
itu tidak keliru jika orientalis kenamaan, Edmund Bosworth, menuduh
umat Islam sebagai “umat yang suka perang dan haus darah”, agama Islam
adalah “agama pedang”.[3]
Indonesia sebagai negara
yang penduduknya sangat majemuk dihuni oleh beragam agama, aliran, ras
dan suku agaknya sangat rawan terjadi pertikaian berdarah. Akhir-akhir
ini kekhawatiran tersebut bukan sekedar khayalan, tapi benar-benar sudah
menjadi fenomena nyata, menjadi kegiatan rutinan kaum fundamentalis
kolot (garis keras), seperti pengeboman, penyerangan terhadap sekelompok
orang yang tidak sepaham, pengrusakan tempat Ibadah dan lain-lain.
Anehnya perlakuan keji tersebut oleh para pelaku dianggap sebagai jihad fi sabilillah
(menjalankan perintah agama)[4] yang akan menjadi washilah dirinya
masuk sorga. Sehingga tidak heran jika pendekar fundamentalis, pelaku
bom Bali, Amrazi, ketika hendak dihukum mati ia bangga bahkan menjemput
kematiannya dengan penuh senyuman karena ia memiliki kepercayaan yang
sudah mengakar-urat bahwa dirinya akan meninggal dunia dalam keadaan syahid.
Sesungguhnya kesalahan mereka berada pada kekurang tahuan –untuk tidak
mengatakan tidak tahu sama sekali- terhadap ajaran Islam atau lebih
spesifiknya ajaran tentang Jihad yang sebenarnya. Oleh karena itu
pemahaman keagamaan yang mereka miliki sangat ganas, ekstrim dan
menyesatkan.
Di sisi lain pemahaman tersebut memang perlu
dimaklumi karena dalam hukum Islam klasik (Baca: Fikih) sendiri kata
jihad selalu diidentikkan dengan perang melawan orang-orang kafir.[5]
Para sarjana klasik sepakat bahwa orang kafir yang wajib diperangi
adalah kafir harbi (kafir yang memusuhi umat Islam), sedangkan kafir dzimmiy (non muslim yang membayar pajak kepada umat Islam) dan kafir musta’min
(kafir yang mengadakan perjanjian damai dengan umat Islam) tidak boleh
diperangi bahkan diusik sekalipun. Terkait dengan apa status orang kafir
yang berada di Indonesia, Isma’il Utsman al-Yamani al-Makki dalam
bukunya, Qurrah al-‘Ain Bi Fatawa Isma’il al-Zain, mengatakan:
”Sesungguhnya orang-orang kafir yang berada di negara Indonesia dan yang
lainnya seperti Pakistan, India, Syam, Irak, Mesir, Sudan, Maroko
semuanya bukanlah kafir dzimmiy, mu’ahid atau musta’min, melainkan murni sebagai kafir harbi
. . .”.[6] Kendati demikian, Syaikh Isma’il memberikan diagnostik
pertimbangan bagi umat Islam dalam menyikapinya, apakah mereka harus
ditumpas habis atau dibiarkan hidup dengan nyaman, semuanya dikembalikan
pada kaidah “menolak kerusakan didahulukan dari pada menarik
kemaslahatan” (Dar’ al-Mafasid ‘ala jalb al-Mashalih), namun jika umat Islam memerangi mereka maka tindakannya tetap dihitung sebagai jihad fi sabilillah dan harta benda hasil jarahan darinya juga termasuk ghanimah (harta rampasan perang).[7]
Fatwa-fatwa seperti di atas walaupun memberi pertimbangan langkah yang
terbaik bagi umat Islam dalam berhadapan dengan orang Kafir yaitu tidak
boleh diperangi, tapi sejatinya sangat membahayakan dan mengancam
eksistensi keutuhan Negara Kebangsaan Republik Indonesia (NKRI) yang
kian hari sangat mengkhawatirkan, bertumbuh suburnya gerakan
transnasional ekstrimis dan berbagai aksi pengeboman kiranya sudah cukup
sebagai bukti. Karena dengan menstatuskan non Muslim di Indonesia
sebagai kafir harbi berarti sama dengan mempersilahkan umat
Islam (pemuja dan pengamal fikih klasik) memerangi mereka. Oleh karena
itu kajian jihad dalam Islam dengan memperhatikan hasil penafsiran
ayat-ayat tentang jihad yang dilakukan oleh para ‘Ulama Ahlu Sunnah wal
jama’ah sembari menelisik ruang-ruang sejarah kiranya sangat mendesak
untuk segera dipelajari, mengingat konflik antar agama dan perbedaan
pemahaman dalam satu agama kian hari terus bertengger.
A. Pengertian Jihad
Kata jihad dalam al-Quran dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 41 kali.[8] Sebagian ada yang turun di Makkah (Makkiy) dan yang lainnya turun di Madinah (Madaniy).
Diantara yang Makki ialah QS. 25:52, 16:110, 29:69, 29:6, 31:15, 29:8.
Sedangkan ayat jihad Madani antara lain 9:73, 66:9, 49:15 dan lain-lain.
Jihad berasal dari kata juhd yang berarti kemampuan (Al-Thaqah) atau jahd artinya berat (Al-Masyaqah). Namun ada yang berpendapat bahwa keduanya sinonim, bermakna tunggal yaitu kemampuan.[9] Dari akar kata jahd atau juhd ini terbentuk pula kata ijtihad dan mujahadah.
Ijtihad biasanya dipahami sebagai upaya bersungguh-sungguh untuk
menemukan kebenaran melalui penelusuran dalil-dalil al-Quran dan
al-Sunnah. Sedangkan mujahadah berarti upaya sungguh-sungguh untuk
mendapatkan ridha Allah. Jika ijtihad sebagai aktifitas otak maka
mujahadah merupakan aktifitas batin atau rohani. Ijtihad populer
dilingkungan para ahli ushul al-fiqh, sementara mujahadah banyak dikenal
di lingkungan mistikus islam.[10] Term jihad secara etimologi ialah
upaya bersungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuan untuk
selalu berada di jalan Allah. Sedangkan arti terminologisnya para
fuqaha’ banyak yang mengidentikkan dengan “memerangi” orang kafir atau
musuh.
Kendati demikian para fuqaha’ merumuskan bentuk jihad
dengan bermacam-macam, sebagaimana disimpulkan oleh Sa’id Aqil Siradj,
yaitu ada empat bentuk. Pertama, Itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah di muka bumi, seperti dengan melantunkan adzan, dzikir dan wirid. Kedua, Iqamatu Syari’atillah,
yaitu menegakkan nilai-nilai agama Allah, seperti shalat, puasa, zakat,
haji, menegakkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran dan
sebagainya. Ketiga, al-Qital fi sabilillah, berperang di jalan
Allah, maksudnya jika terdapat komunitas yang memusuhi umat Islam dengan
segala argumentasi yang dibenarkan agama maka diperbolehkan berperang
namun harus memperhatikan rambu-rambu yang ditetapkan oleh Allah.
Keempat, Daf’u dlarari al-Ma’shumin Musliman Kana Au Dzimmiyyan,
artinya mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, serta memenuhi
kepentingan seseorang yang harus ditanggung oleh pemerintah, entah itu
muslim maupun kafir (non Muslim yang tidak memusuhi umat Islam, Kristen,
Majusi, Yahudi, ataupun yang lainnya).[11] Pemaknaan jihad hanya
sebagai “memerangi orang kafir” sungguh pun sangat menakutkan, apalagi
kini jihad banyak dipahami oleh sebagian orang sebagai tindakan
memerangi orang-orang yang tidak sepaham, atau dalam bahasa mereka
orang-orang yang beraliran sesat.
Mengartikan jihad
sebagai perang fisik memang tidak seluruhnya salah, juga tidak
seluruhnya benar. Dikatakan tidak seluruhnya salah karena dalam al-Quran
sendiri tidak hanya satu atau dua ayat jihad diartikan sebagai perang,
tapi banyak seperti dalam QS. 9:73:
ْ
“Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap tegaslah kepada mereka”.
Secara literal (apa adanya) ayat ini sebenarnya tidak menyebutkan sendiri pengertian jihad sebagai peperangan fisik (qital).
Namun para ulama menafsirkannya sebagai peperangan fisik. Jalal al-Din
al-Suyuthi, Al-Thabari, Ibn Katsir dan Al-Qurthubi mengartikan ayat
tersebut sebagai jihad dengan menggunakan pedang terhadap orang-orang
kafir dan menggunakan jalan dialog dan diplomasi terhadap orang-orang
munafik.[12] Ayat lain misalnya QS. 9:41.
َ
“Berangkatlah
kamu, baik dalam keadaan merasa senang maupun merasa berat dan
berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu
adalah lebih baik bagimu sekiranya kamu mengetahui”.
Secara
jelas ayat ini menyuruh umat Islam untuk segera bergegas perang melawan
musuh yang sudah datang dan mengancam. Fakhr al-Din al-Razi menegaskan,
dalam kondisi bagaimanapun, baik dalam keadaan suka maupun duka, punya
bekal atau tidak, punya senjata atau tidak, umat Islam harus berangkat
melawan tantangan orang-orang kafir.[13] Ayat-ayat jihad yang berartikan
perang fisik seperti ini turun setelah nabi Saw. hijrah ke Madinah (Madaniy)
dan hanya sebagai upaya pertahanan diri dari serangan orang kafir yang
terlebih dahulu menyerang (defensif) sebagai mana yang akan terlihat
nanti dalam pembahasan berikutnya.
Sedangkan
mengartikan jihad sebagai perang fisik dikatakan tidak semuanya benar,
karena dalam al-Quran sendiri banyak ayat-ayat jihad yang memiliki arti
bukan perang fisik, sebagai sampel, misalnya QS. 25:52.
“maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan jihad yang besar”.
Menurut
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Thabari, al-Qurthubi dan al-Razi, jihad dalam
ayat ini bermakna al-Quran.[14] Contoh lain misalnya QS. 29:69.
“orang-orang yang bersungguh-sungguh (jaahadu) di jalan Kami niscaya Kami tunjukkan jalan-jalan menuju Kami”.
Fakhr
al-Din al-Razi menafsirkan ayat ini dengan “barang siapa
bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah maka Allah akan menunjukkan
kepadanya jalan-jalan menuju surga”.[15] Ibn Abbas dan Ibrahim Ibn Adham
berpendapat, jihad dalam ayat ini berarti mengamalkan ilmu. Abu
Sulaiman al-Darani mengatakan, jihad dalam ayat ini bukan berarti
memerangi orang-orang kafir, melainkan menjalankan ajaran agama yang
salah satunya adalah berusaha secara sungguh-sungguh untuk taat kepada
Allah.[16]
Keberagaman arti jihad yang dikandung al-Quran membuktikan bahwa arti jihad tidak hanya perang fisik (qital) melawan orang-orang kafir, melainkan sangat beragam. Jihad dalam arti qital
hanya termaktub dalam ayat-ayat madani karena semasa nabi Saw. dan
pengikutnya berdomisili di Makkah selama tiga belas tahun mereka hanya
diperintahkan untuk bersabar dalam menghadapi kenakalan kafir Quraisy.
Oleh karena itu jihad priode Makkah diartikan sebagai usaha
bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah. Baru setelah umat Islam
transmigrasi (hijrah) ke Madinah jihad dalam arti perang disyari’atkan,
itu pun sebatas pertahanan diri (al-Difa’).
Kendati jihad
disyari’atkan di Madinah, namun tidak semuanya bermakna perang melawan
kafir, terdapat ayat jihad madani yang berarti memberikan bantuan harta
terhadap orang-orang yang membutuhkannya, sebagaimana QS. 49:15
“Sesungguhnya
orang-orang Mukmin hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan
rasul-Nya, mereka tidak ragu dan berjihad dengan harta dan jiwanya di
jalan Allah.”
Dengan demikian sangat jelaslah bahwa jihad
tidak hanya berbentuk memerangi orang-orang kafir semata, melainkan
sangat banyak. Di samping itu Peperangan fisik dalam islam biasanya
disebut dengan qital, ghazwah, harb, ma’rakah, siyar, dan yang lainnya.
Dalam
hadis-hadis nabi Saw. juga banyak sekali kata jihad disebutkan dengan
makna bukan perang, seperti sabda nabi Saw. “Jihad yang paling utama
adalah menyampaikan sesuatu yang benar di depan seorang penguasa yang
zalim”. “Seorang mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa
nafsunya untuk selalu berada dijalan Allah”. Pada suatu hari Dewi
‘Aisyah bertanya kepada nabi, “Wahai Rasul, kalau memang jihad itu
merupakan amal perbuatan yang paling utama, maka mengapa kami tidak
berjihad”. Nabi menjawab, “Jihad yang paling utama adalah haji yang
mabrur”. Jika jihad hanya bermakna perang bagaimana mungkin nabi Saw.
menggunakan istilah jihad sebagai haji yang mabrur.
B. Perang Pada Masa Rasulullah Saw.
Sejak
pertama kali nabi Muhammad Saw. menyebarkan agama Islam di kota Makkah
pertama-tama yang harus beliau hadapi adalah penolakan keras dari
masyarakat sekitar bahkan dari paman-pamannya sendiri. Pelbagai jenis
tuduhan seperti “gila” dan “ahli sihir” kerap diterima beliau. Para
pengikut Muhammad Saw. selalu dihalang-halangi untuk beribadah di
Masjidil Haram. Oleh karenanya Abu Bakar sempat mendirikan tempat shalat
di sekitar rumahnya tapi itupun dihancurkan oleh kafir Quraisy.[17]
Abdullah Ibn Mas’ud pernah dipukul dan dilukai Abu Jahal ketika sedang
membaca al-Quran di depan Ka’bah. Umat Islam dilarang membaca ayat-ayat
suci al-Quran, mereka malah menuduh al-Quran sebagai karya Muhammad
Saw.[18] Ketika umat Islam sedang melaksanakan shalat tiba-tiba
sekelompok kaum Musyrik datang dan secara kasar menghalangi mereka,
akhirnya terjadilah perkelahian, Sa’ad Ibn Abi Waqash dari Bani Zuhrah
memukul salah seorang kafir dengan menggunakan pelana unta dan
melukainya. Sejarah mencatat inilah pertumpahan darah pertama dalam
Islam. Umat Islam generasi pertama benar-benar mengalami kesulitan dalam
menjalankan ibadah. Dalam keadaan seperti ini, nabi Muhammad Saw. tidak
pernah menyerang balik, karena Allah Swt. memerintahkannya untuk
bersabar terhadap perlakuan kafir Quraisy dan menjahuinya dengan cara
yang baik (QS. 73:10).
Walaupun umat Islam pada saat itu bersikap
demikian, tapi kekerasan terus berdatangan hingga akhirnya nabi Muhammad
Saw. dan pengikutnya memutuskan pindah (hijrah) ke Yatsrib, kota yang
penduduknya sangat majemuk, plural (beragam), ada Yahudi yang terdiri
dari tiga etnis, Bani Quraidhah, Bani Qainuqa dan Bani Nadhir. Ada
Nasrani, Paganis (penyembah berhala), Muslim pribumi (Anshar) dan Muslim migran (Muhajirin).
Oleh karena itu langkah yang pertama kali dilakukan oleh nabi Muhammad
Saw. adalah mengadakan persatuan dan kesatuan dibawah Piagam Madinah (Shahifah Madinah) dimana semua warga bangsa (Yahudi, Nasrani, Musyrik, Muslim) dianggap satu umat (Ummah Wahidah),
semuannya memiliki hak hidup sama, tidak dibeda-bedakan.[19] Sejak
itulah kota Yatsrib namanya diganti menjadi Madinah, penduduknya disebut
Mutamaddin dan sistemnya dikenal dengan Tamaddun. Persaudaraan sesama manusia (Ukhuwwah Basyariyyah)
itu dikepalai oleh nabi Muhammad Saw. sendiri. Dengan demikian Muhammad
Saw. memiliki jabatan ganda, sebagai pemimpin agama Islam (Nabi) dan pemimpin Negara.[20]
Sekalipun
nabi Saw. dan sahabatnya sudah hijrah ke daerah lain serangan kafir
Quraisy terus mengancam nyawa umat Islam. Pada saat keadaan mengerikan
seperti itulah Allah baru menurunkan QS. 22:39-40 sebagai rekomendasi
kepada umat Islam untuk memerangi orang-orang kafir yang mengintimidasi,
memusuhi dan menyiksa mereka. Ini merupakan puncak dari kesabaran umat
Islam dalam menghadapi kezaliman kafir Quraisy, sebelumnya selama
bertahun-tahun Rasulullah Saw. selalu meminta umat Islam untuk bersabar,
karena pada saat itu tidak ada wahyu yang memerintahkan untuk melawan
kezaliman tersebut,[21] tapi setelah ayat perang turun, peperangan
antara kelompok nabi Saw. dan kafir Quraisy menjadi tak terelakkan lagi.
Perlu dicatat disini bahwa peperangan tersebut hanya sebagai upaya
pertahanan diri (defensif), bukan dengan cara menyerang terlebih dahulu
(ofensif).
Terkait dengan berapa jumlah peperangan yang dilakukan
oleh nabi Muhammad Saw. sejumlah hadis menyebutkan bahwa Rasulullah Saw.
melakukan peperangan sebanyak tujuh belas kali. Sementara riwayat lain
mengatakan sembilan belas kali. Abdullah Ibn Buraidah meriwayatkan pada
masa nabi Saw. telah terjadi 19 kali peperangan, tapi nabi Muhammad Saw.
hanya pernah mengikuti 8 kali.[22] Diantaranya adalah:
1.
Perang Badar, terjadi pada tanggal 17 Ramadlan 2 H./ 17 Maret 623
M. Pada peperangan ini jumlah pasukan Islam hanya tiga ratus lima
puluh orang, jumlah yang sangat sedikit dibanding kafir Quraisy
Makkah yang berjumlah lebih dari sembilan ratus pasukan. Tapi
sungguh sangat mengagumkan, pada peperangan ini umat Islam meraih
kemenangan yang sangat gemilang, para pemuka Kafir Quraisy banyak
yang terbunuh, diantaranya adalah Abu Jahal Ibn Hisyam, ‘Utbah Bint
Rabi’ah, Zam’ah Ibn al-Aswad, Umayah Ibn Khalaf dan yang lainnya.[23]
Sedangkan dari umat Islam yang terbunuh hanya empat belas orang,
enam orang dari kaum Muhajirin dan delapan orang dari kaum Anshar.
Riwayat lain menyebutkan korban dari umat Islam berjumlah sebelas
orang, empat orang dari kalangan Muhajirin dan tujuh orang dari
kalangan Anshar.[24]
2. Perang Uhud, terjadi pada
pertengahan bulan Syawal 4 H./ 625 M. dua tahun setelah perang
Badar. Jika pada perang Badar umat Islam mengalami kemenangan
besar-besaran, pada peperangan ini sebaliknya, umat Islam mengalami
kekalahan, bahkan nabi Saw. sendiri terluka lantaran lemparan batu
keras dari ‘Uthbah Ibn Abi Waqash. Bibir bawah nabi Saw. sobek,
giginya patah satu dan wajahnya mengucurkan darah. Tujuh puluh
sahabat nabi Saw. menjadi syahid.[25] Diantara tujuh puluh
korban tersebut tercatat nama Mukhairiq, orang Yahudi Bani
Tsa’labah. Ibn Hisyam meriwayatkan, di pagi hari ketika Mukhairiq
mendengar informasi akan terjadi peperangan akbar antara kafir Quraisy
Makkah dengan umat Islam, ia memerintahkan pengikutnya agar tetap
menjaga perjanjian dengan nabi Saw. sebagaimana yang termaktub
dalam Piagam Madinah dan membantu nabi Saw. dalam memerangi kaum
Musyrik Makkah. Mukhairiq berkata kepada pengikutnya (orang
Yahudi):
“Wahai kaum Yahudi, demi Allah, sesungguhnya membela nabi Muhammad Saw. adalah suatu kebenaran”.
Bahkan lebih tegas ia mengatakan:
“jika
dalam peperangan nanti aku terbunuh, maka semua hartaku aku serahkan
kepada Muhammad Saw. untuk keperluan apa saja terserah”.
Kemudian
Mukhairiq menyiapkan pedang dan segera berangkat menuju bukit Uhud
turut berjuang hingga akhirnya meninggal dunia. Terkait dengan prilaku
Mukhairiq, nabi Muhammad Saw. bersabda: “Mukhairiq adalah orang Yahudi
terbaik ”.[26]
3. Perang Parit,
terjadi pada bulan Syawal 5 H./ 627 M.. Atas usulan Salman
al-Farisi nabi Saw. memerintahkan pasukannya untuk menggali parit di
sekitar Madinah dan keadaan kota diperkuat dari dalam. Oleh
karena itu ketika kafir Quraisy mengepung Madinah mereka tidak bisa
masuk ke kota. Pada peperangan ini umat Islam kembali meraih
kemenangan, padahal jumlah umat Islam sedikit, yaitu tiga ribu
orang sementara kafir Quraisy Makkah berjumlah sepuluh ribu
pasukan.[27]
C. Tujuan & Etika Perang Rasulullah Saw.
Sungguh, sebagaimana terlihat di atas bahwa nabi Muhammad Saw.
berperang bukan untuk memaksa kafir Quraisy masuk ke agama Islam,
melainkan sebagai upaya mempertahankan diri dari serangan kaum Quraisy
yang mengisolasi umat Islam dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya
sendiri, atau singkatnya mengekang kebebasan beragama, itu pun nabi Saw.
belum pernah mengawali menyerang, tapi merekanyalah yang memulai
terlebih dahulu.[28]
Selama hidup nabi Muhammad Saw.
tidak pernah memaksa umat lain untuk masuk ke agama Islam, karena
pemaksaan dalam beragama bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri,
Allah berfirman:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) ke agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat.” (QS. 2:256)
Ibn
Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan: “janganlah kalian memaksa
seorang pun untuk masuk ke dalam agama Islam, karena agama Islam
petunjuk-petunjuknya sangat jelas. Tidak perlu memaksa seorang pun untuk
menganut agama Islam, masuk ke agama Islam harus mendapat petunjuk dari
Allah. Barang siapa mata hatinya buta maka tidak ada faidahnya menjadi
Muslim dengan terpaksa”. Memaksa seseorang untuk menganut agama Islam
berarti menentang dan menyingkirkan ujian Tuhan.[29] Umat Islam pada
saat itu hanya berperang melawan kafir Quraisy, bukan kafir lainnya, hal
ini karena kafir Quraisy Makkahlah yang mengintimidasi umat Islam dan
memasung kebebasan beragama sehingga nabi Saw. dan sahabatnya merasa
kesulitan dalam menjalankan aktivitas keagamaan. Andai peperangan
ditujukan kepada orang kafir secara umum, bagaimana mungkin Mukhairiq,
pemuka yahudi berperang membela nabi Saw. mati-matian?.
Nabi
Muhammad Saw. juga pernah perang dengan orang Yahudi Madinah, tapi
sungguh pun peperangan ini bukan peperangan atas nama agama (Holy War)
melainkan karena mereka melanggar kesepakatan persatuan dan kesatuan
(Piagam Madinah) dan melancarkan api permusuhan terhadap umat Islam.
Kelompok Yahudi Bani Mushtholiq pernah merencanakan secara sistematis
untuk membunuh nabi Saw. di bawah komando al-Harits Ibn Abi Dlirar,
kemudian informasi ini terdengar oleh nabi Saw., dan akhirnya terjadilah
peperangan. Peperangan dengan Yahudi Bani Nadzir juga bukan karena
gesekan perbedaan agama melainkan karena mereka melanggar kesepakatan
damai, melancarkan permusuhan dan fitnah terhadap umat Islam, oleh
karena itu terjadilah peperangan dan menjadikan Bani Nadzir terusir dari
Madinah.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa semua peperangan
nabi Muhammad Saw. hanyalah persoalan politik, perbedaan agama atau
paham sama sekali bukan sebab yang menggelayuti nabi dalam berperang.
Orang-orang Yahudi Madinah diperangi bukan karena mereka beragama
Yahudi, melainkan karena mereka melakukan penghianatan politik dan
memusuhi umat Islam. Ibn Hisyam meriwayatkan, bahwa nabi Saw. pernah
melarang umat Islam memerangi orang Musyrik Makkah al-Bukhtari. Larangan
ini lantaran al-Bukhtari tidak menyerang nabi Saw. dan pengikutnya saat
di Makkah, dan jasa al-Bukhtari dalam menggagalkan gerakan isolasi dan
pemboikotan terhadapnya. Memang begitulah sebenarnya perang yang terjadi
di sepanjang zaman kehidupan umat Manusia. Ivan S. Bloch dalam War of The World,
sebagaimana dikutip Hasnan Habib, menyatakan bahwa antara tahun 1496
SM. sampai tahun 1861 M. terdapat 227 tahun damai dan 3.130 tahun
perang, semuanya disebabkan oleh berbagai kepentingan, politik dan
ekonomi.[30]
Karena sekedar mempertahankan diri itulah nabi Saw.
dalam berperang sangat memperhatikan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Diantaranya tidak boleh memukul wajah karena pada wajah terdapat nilai
kehormatan manusia. Dalam kesempatan lain nabi Muhammad Saw. berpesan
kepada para sahabatnya agar dalam berperang tidak membunuh orang-orang
jompo, para pendeta, anak kecil dan kaum perempuan. Sebuah hadis
menceritakan, pada suatu peperangan pernah ditemukan seorang perempuan
tergeletak mati terbunuh. Terkait kejadian itu Rasulullah Saw. marah dan
melarang membunuh perempuan dan anak-anak.[31] Tempat-tempat ibadah
dilarang dihancurkan, pepohonan tidak boleh ditebang.
Dalam
menyikapi tawanan perang nabi Saw. juga memerintahkan para sahabatnya
memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya. Nabi bersabda:
“peralakukanlah mereka dengan sebaik-baiknya”. Alkisah, suatu ketika
Mikraz Ibn Hafz datang hendak menebus Suhail Ibn ‘Amr yang menjadi
tawanan perang. Namun Umar Ibn Khattab merasa keberatan jika Suhail
bebas begitu saja karena ia sering mencerca nabi Muhammad Saw.. Akhirnya
Umar meminta izin kepada nabi untuk menyanksi Suhail Ibn ‘Amr dengan
mencabut dua gigi serinya sehingga tidak lagi mencerca nabi, namun oleh
nabi dijawab: “saya tidak akan memperlakukan mereka dengan kejam supaya
Allah tidak memperlakukan saya secara demikian, sekalipun saya seorang
nabi.”[32] Bahkan nabi Saw. melarang para sahabatnya berharap bertemu
musuh, namun andai terpaksa bertemu, nabi Saw. memerintahkan untuk
bersabar.[33]
D. Jihad Dalam Implementasi Kontekstual
Memahami ayat-ayat jihad di atas dan fenomena sosial yang melatari
turunnya agaknya sangat penting dalam rangka mengakstualisasikan ajaran
Islam secara kaffah. Tak dapat disangkal, bahwa peradaban Islam
adalah peradaban teks, di mana teks mempunyai otoritas yang paling
tinggi. Namun bagaimana pun teks tetaplah teks, teks tidak dapat berdiri
sendiri tanpa ada dialog dengan konteks.[34] Di samping konteks, teks
juga membutuhkan manusia sebagai Artikulator sekaligus penafsir atas
teks-teks yang ada, karena tanpa penafsir, teks hanyalah sekumpulan
huruf yang berserakan di atas lembaran-lembaran kertas, tidak bisa
bicara dan tidak bisa merubah peradaban Manusia.
Adalah Rais Akbar NU, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, orang yang
pernah mendialogkan “Teks jihad” di bumi Indonesia. Ketika serdadu
sekutu yang dipelopori oleh Belanda mendarat di Surabaya untuk mengeruk
kekayaan dan menindas penduduk Indonesia, pada tanggal 22 Oktober 1945
secara tegas beliau mengajak masyarakat berjihad dengan memerangi orang
Belanda dan sekutunya yang ketepatan tidak beragama Islam (Kafir),
beliau berfatwa “Masyarakat Surabaya, baik laki-laki, perempuan, maupun
anak-anak semuanya wajib (fardlu ‘Ain) mengikuti perang melawan penjajah dan fardlu kifayah
bagi masyarakat sekitar”. Resolusi jihad ini akhirnya mampu
membangkitkan semangat Arek-arek Surabaya untuk bertempur habis-habisan
melawan penjajah yang terjadi pada tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya,
kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan.[35] Perang yang dimaksudkan oleh
Rais Akbar NU tersebut sama sekali tidak dimaksudkan membela agama an-sich,
tetapi lebih membela tanah air yang berarti melindungi semua penduduk
Indonesia, baik Muslim, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hucu dan yang
lainnya.
Dari keberagaman arti jihad yang dikandung
al-Quran oleh KH. Hasyim Asy’ari diaktualisasikan sebagai perang melawan
sekutu demi mempertahankan keutuhan NKRI. Langkah seperti ini bukan
berarti beliau menyempitkan pengertian jihad, tapi lebih sebagai
implementasi kontekstual (langkah yang sesuai) karena kondisi pada saat
itu menuntut pemaknaan demikian.
Jika pada masa KH.
Hasyim Asy’ari jihad diaktualisasikan sebagai memberangus penjajah
karena kondisi menuntut pemaknaan seperti itu, kini keadaan negara
Indonesia sudah tidak dijajah oleh amukan fisik Kafir Belanda dan
sekutunya lagi, penjajah yang sedang bertengger di bumi pertiwi sekarang
ini adalah banyaknya angka kemiskinan, pengangguran, dan bejadnya moral
sebagian pemimpin yang tanpa tedeng aling-aling ngemplang duit rakyat
dengan seenaknya. Oleh karena itu jihad harus diartikan sesuai dengan
tuntutan keadaan, yaitu memerangi angka kemiskinan, kebodohan,
pengangguran, dan membekukan laku korup.
Jihad dengan
memerangi angka kemiskinan dan pengangguran berarti kita berusaha
bersungguh-sungguh untuk menghidupkan taraf ekonomi masyarakat kelas
bawah (grass root), dengan menyediakan tempat tinggal kepada
mereka yang tuna wisma, memberikan sandang dan pangan kepada mereka yang
papa, memberikan modal kepada mereka yang tak punya, membuka peluang
usaha kepada mereka yang sedang mencari, dan yang lainnya. Bahkan dalam
al-Quran sendiri ketika membicarakan tentang jihad runtutan lafadznya
selalu mendahulukan “jihad dengan harta” (Jihad bi al-Mal) dari pada “jihad dengan jiwa” (Jihad bi al-Nafs),
hal ini mengingat pada saat itu jihad dengan harta sangat dibutuhkan
guna membantu orang-orang Muhajirin yang belum mendapatkan pekerjaan
ketika tiba di Madinah. Sedangkan jihad memerangi tindakan korupsi
adalah berusaha menyadarkan mereka yang masih aktif memakan harta rakyat
dan memberi tahu kepada masyarakat secara umum bahwa laku korup adalah
tindakan yang amat zalim, sebagaimana yang disabdakan oleh nabi Saw.
bahwa “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan sesuatu yang benar di
depan seorang penguasa yang zalim”.
Epilog
Syahdan, dengan melihat penafsiran para Ulama Salaf al-Shalih terhadap
ayat-ayat jihad sembari menguak penyebab peperangan yang dilakukan oleh
Rasulullah Saw. di atas sangat nampak di mata bahwa jihad sebagai ajaran
islam memiliki arti yang sangat banyak, arti-arti tersebut dalam
tataran praksisnya harus disesuaikan dengan tuntutan kondisi umat Islam.
Jihad diimplementasikan sebagai perang melawan orang-orang kafir
sungguh pun hanya merupakan salah satu makna dari ribuan makna yang
dikandungnya, namun ini pun harus memenuhi persyaratan yang sangat
ketat. Patut ditegaskan kembali bahwa nabi Saw. memerangi orang-orang
kafir hanya sebagai upaya pertahanan diri dari serangan kafir Quraisy
yang menindas dan mengekang kebebasan manusia, tak terkecuali dalam
beragama. Kenyataan seperti ini jugalah yang dialami KH. Hasyim Asy’ari
di masanya sehingga beliau memaknai jihad dengan berperang melawan Kafir
Belanda dan sekutunya.
Al-Quran sebagai kitab suci
memuat hak-hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia, hak-hak tersebut
meliputi hak untuk hidup, hak untuk memperoleh kemerdekaan, hak untuk
memperoleh persamaan dan keadilan, hak untuk memperoleh penghormatan,
hak untuk memperoleh ilmu pengetahuan, dan hak untuk memiliki.[36]
Pertama, Hak untuk hidup, setiap manusia berhak untuk hidup layak,
aman, damai dan bahagia di muka bumi. Hak untuk hidup ini menurut
al-Quran merupakan hak yang paling utama, karena hidup itu sendiri
merupakan karunia Allah. Oleh karena itu tidak seorang pun dan siapa pun
yang berhak merampasnya kecuali berdasarkan kebenaran dan ketentuan
dari Allah itu sendiri. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami benar-benar yang menghidupkan dan mematikan, dan Kami (pulalah) yang mewarisi.” QS. 15:23. “Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang
diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahaminya.” QS. 6:151. “Barang
siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh)
orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka
seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa
memelihara kehidupan seorang manusia niscaya seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya . . .” QS. 5:32. dan yang lainnya.
Kedua, Hak untuk memperoleh kemerdekaan, hak asasi seseorang bisa
tampak apabila ia memiliki kemerdekaan untuk menyatakan sikap dan
kehendaknya sesuai dengan suara hati nurani, tak terkecuali dalam
persoalan memilih kepercayaan dan agama sekalipun. Allah berfirman: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam . . .” QS. 2:256.
Ketiga, Hak untuk memperoleh penghormatan, manusia adalah makhluk yang
tertinggi dan termulia diantara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dalam QS.
17:70 Allah berfirman: “Dan sesungguhnya telah kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan,
Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.” Setiap manusia pasti menghendaki adanya persamaan dalam
segala penilaian, penghormatan, kedudukan, penghidupan, dan martabat
yang tinggi sesuai dengan kualitas masing-masing. Oleh karena itu
seseorang tidak boleh mengejek, menghina, mencela, melecehkan,
menggunjing, dan mencari-cari kesalahan orang lain.
Keempat, Hak untuk memperoleh persamaan dan keadilan, Allah berfirman: “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lelaki dan
seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara
kamu di sisi Allah adalah mereka yang paling bertakwa.” QS. 49:13.
Dalam ayat ini Allah tidak hanya mengkhabarkan persamaan hak dan
keadilan yang dimiliki manusia, tetapi Allah juga menyatakan bahwa semua
umat manusia yang ada di muka bumi ini semuanya adalah saudara.
Terbaginya manusia dalam berbagai suku, bangsa, ras, warna kulit,
bahasa, agama bertujuan supaya mereka saling mengenal perbedaan dan
menukar peradaban. Dengan perbedaan yang ada mereka bisa saling
melengkapi, berbagi kesulitan dan kebahagiaan, dan tolong menolong untuk
mencapai tujuan bersama.
Kelima, Hak untuk memperoleh
ilmu pengetahuan, setiap orang, lelaki maupun perempuan punya hak yang
sama untuk menuntut ilmu pengetahuan. Allah menempatkan orang yang
berilmu pengetahuan pada kedudukan yang amat tinggi, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat.” QS. 58:19.
Keenam, Hak untuk memiliki, sungguh agama Islam telah mengakui hak-hak
kepemilikan bagi setiap individu, dalam al-Quran Allah selalu
menganjurkan setiap orang supaya berjuang sekuat tenaga untuk mencari
rizki yang bertebaran di muka bumi, di laut, di darat, maupun di udara.
Allah menyatakan bahwa diri-Nya telah menundukkan lautan untuk manusia
supaya kapal-kapal berlayar sehingga manusia dapat mencari rizki-Nya
(QS. 45:12). Kendati demikian, namun ia juga memiliki kewajiban , yaitu
mengeluarkan sebagian hartanya demi amal sosial dan kemanusiaan. Dalam
Islam harta memiliki fungsi individual dan sosial sekaligus, tanpa
memandang suku, bangsa, warna kulit, keturunan, bahasa, agama, golongan
maupun aliran politik. Siapapun yang membutuhkan pertolongan maka ia
wajib dibantu, karena dihadapan Tuhan semua manusia adalah sama dan
sederajat.
Dengan demikian jika ada sekelompok umat Islam yang
mengebom, merusak tempat ibadah, ataupun mengusik umat lain apalagi
orang yang tidak sepaham dengan dalih jihad maka bisa ditebak bahwa apa
yang ia lakukan bukanlah menjalankan perintah agama, melainkan
“pencorengan” terhadap agama Islam sendiri yang bernuansa menebar kasih
sayang kepada sesama (Rahmah li al-‘Alamin).
Sekali lagi,
implementasi jihad yang dibutuhkan oleh indonesia sekarang dan masa
yang akan datang adalah jihad bukan dalam arti berperang, mengebom, mengamang-amangi
pedang dan merusak tempat ibadah, melainkan jihad dalam arti memberikan
harta dan ilmu demi membangun Indonesia yang lebih maju. Wallahu A’lam.
*Dijadikan makalah dalam seminar jam’iyyah An-Nahdliyyah M3HM.
Pon. Pes. Lirboyo Kota Kediri Jawa Timur.
Malam Jum’at 7 Januari 2011 M.
** Koordinator FKI-RADEN
(Forum Kajian Ilmiah - Refleksi Anak Muda Pesantren)
PP. Lirboyo, Kediri, Jatim
[1] Ibn Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib,
dalam Catatan pinggir al-Baijuri ‘Ala Ibn Qasim al-Ghazi, (Surabaya:
Maktabah al-Syaikh Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladih, tt.), Vol. II,
Hal. 262.
[2] Baca Sambutan (Khutbatul Hajah) Imam Samudra dalam bukunya, Aku Melawan Teroris, (Solo: Jazeera, Cet. I, 2004).
[3]Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post Modernisme, (Jakarta: Paramadina 1996), Hal. 130.
[4] Imam Samudera, Aku Melawan Teroris, Hal. 129
[5]
Periksa kajian jihad dalam kitab-kitab fikih klasik, hampir keseluruhan
ketika menjelaskan tentang jihad maka pembahasannya mengenai perang
melawan orang-orang kafir, lain halnya dengan pembahasan jihad dalam
kitab-kitab Tasawuf, jihad dalam ilmu ini diulas sebagai perang melawan
hawa nafsu.
[6] Isma’il Utsman al-Yamani al-Makki, Qurrah al-‘Ain Bi Fatawa Isma’il al-Zain, (Toko kitab al-Barokah tt.), Hal. 179.
[7] Ibid, Hal. 179
[8] Muhammad Fuad Abd al-Baqi’, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Quran, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.), Hal. 332-333. Bandingkan dengan Sa’id Aqil Siraj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), Hal. 135
[9] Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, (Kairo: Dar al-Hadis, 2003), Vol. II, Hal. 240-241.
[10] Sa’id Aqil Siraj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, Hal. 135
[11] Sa’id Aqil Siraj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, Hal. 136. Lihat juga Abi Bakar Syattha al-Dimyathi al-Bakri, Hasyiah I’anah al-Thalibin, (Beirut-Libaon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Cet. VII, 2009), Vol. IV, Hal. 295-298.
[12] Jalal al-Din al-Suyuthi & Jalal al-Din al-Mahalli, Tafsir al-Jalalain, (Kairo: Dar al-Hadits, 2003), Hal. 252. Al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999), Vol. VI, Hal. 420. Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adzim, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Vol. II, Hal. 416. Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Quran, (Kairo: Dar al-Hadits, 2002), Vol. IV, Hal. 530.
[13] Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Vol. XVI, Hal. 72.
[14]
Lihat Jalal al-Din al-Suyuthi & Jalal al-Din al-Mahalli, Hal. 476.
Al-Thabari, Vol. IX, Hal. 398. Al-Qurthubi, Vol. VII, Hal. 55. Fakhr
al-Din al-Razi, Vol. XII, Hal. 101.
[15] Fakhr al-Din al-Razi, Vol. XIII, Hal. 95.
[16] Lihat selengkapnya dalam Al-Qurthubi, Vol. VII, Hal. 323.
[17] Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah al-Labidz, (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.) Vol. I, Hal. 31,
[18] Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, (Beirut-Libanon: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1997), Vol. I, Hal. 184.
[19] Lihat Sa’id Aqil Siraj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, Hal. 210.
[20]
Jabatan ganda Muhammad Saw. ini direspon positif oleh Madzhab Hanafiah.
Dalam mengkaji perkataan, perbuatan dan pengakuan Muhammad Saw. (Baca:
Hadis) mereka memilah dan memilih apakah hadis tersebut dikeluarkan oleh
Muhammad Saw. dalam kapasitasnya sebagai Pemimpin agama, Pemimpin
negara atau manusia biasa. Jika disampaikan dalam kapasitasnya sebagai
pemimpin negara atau manusia biasa maka tidak dijadikan sebagai kaki
pijak hokum (Dalil). Baca Jamal al-Din Abi Muhammad ‘Abdi al-Rahim bin
al-Hasan al-Isnawi, al-Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), Hal. 509-510. Kajian mendalam tentang hal ini baca Abd al-Jalil ‘Isa, Ijtihad al-Rasul, diindonesiakan oleh Saifuddin Zuhri Qudsy & Khusnul Khotimah, (Yogyakarta: Cahaya hikmah, 2004).
[21] Al-Qurthubi, al-Jami’ li ahkam al-Quran, (Kairo: Dar al-Hadis, 2002), Vol. VI, Hal. 383. Muhammad Ibn Abdullah Ibn al-‘Arabi, Ahkam al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Vol. III, Hal. 1297.
[22] Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Kairo: Dar al-Hadis, 1992), Vol. II, Hal. 278.
[23] Ibid, Vol. III, Hal. 338.
[24] Baca selengkapnya pada Muhammad Nawawi al-Jawi, Vol. I, Hal. 41.
[25] Ibn Katsir, Vol. IV, Hal. 53-54.
[26] Lihat Ibn Hisyam, Vol. I, Hal. 382.
[27] Ibn Katsir, Vol. IV, Hal. 104.
[28] Abd al-Wahab Khalaf, al-Siyasah al-Syar’iyyah, (Kairo: Dar al-Anshar, 1997), Hal. 62-84.
[29] Baca Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil, (Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2003), Vol. II, Hal. 193-194.
[30] Hasnan Habib, Perang Militerisme dan Kompleks Militer Industri, dalam Perang Militerisme dan Tantangan Perdamaian, (Jakarta: PT. Grasindo, 1994), Hal. 3.
[31] Abi al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Dar Ibn Haitam, 2001), Hal. 453
[32] Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Vol. III, h. 345. Ibn Hisyam, al-Shirah al-Nabawiyah, Vol. I, h. 487.
[33] Abi al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Dar Ibn Haitam, 2001), Hal. 453
[34] Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Quran, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1996), Hal. 5.
[35] Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amaliyah, Uswah, (Surabaya: Khalista, 2007), Hal. 93-95.
[36] Baca Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Quran, (Jakarta: Penerbit Penamadani, Cet. I, 2003), Hal. 128-145.